Industri Teriak Harga Gas Mahal, DPR: Kontrak di Hulu Harus Dibenahi

Industri Teriak Harga Gas Mahal, DPR: Kontrak di Hulu Harus Dibenahi

Dana Aditiasari - detikFinance
Jumat, 09 Sep 2016 10:50 WIB
Ilustrasi (Foto: Rachman Haryanto)
Jakarta - Sejumlah industri teriak dengan harga gas yang masih tinggi, jauh lebih tinggi dari negara lain. Hal ini membuat harga jual produk-produk dalam negeri tidak kompetitif dibanding negara lain..

Merespons kondisi tersebut, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Satya Widya Yudha punya pandangan sendiri agar harga gas untuk industri bisa menjadi murah.

Menurutnya, harga gas murah bisa dicapai jika pemerintah melakukan pembenahan kontrak hulu kontraktor migas. Pembenahan di hulu ini perlu karena menjadi penyedia sumber gas bagi industri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pemerintah harus membuat kontrak hulu migas semenarik mungkin untuk investor," ujar dia dalam keterangan tertulis diterima detikFinance, Jumat (9/9/2016).

Pembenahan tersebut, menurut Satya, antara lain bisa dilakukan dengan menerapkan skema bagi hasil sliding scale. Dengan skema ini, maka ketika harga minyak naik maka pemerintah diuntungkan, karena mendapat bagian lebih besar.

Namun, ketika harga minyak rendah seperti sekarang, maka penerimaan negara bisa berkurang. Hanya saja, investasi untuk kegiatan hulu migas tetap berjalan, karena tetap bisa ekonomis untuk diproduksi.

Satya meyakini ketika harga minyak mentah di atas US$ 100 per barel misalnya, kontraktor migas tak keberatan pemerintah mendapat porsi lebih besar. Pasalnya, dengan mendapat porsi kecil saja, kontraktor migas sudah untung.

"Tapi ketika harga minyak di bawah US$20 per barel, mendapat porsi lebih kecil, sehingga dengan begitu si kontraktor bisa bertahan dengan harga minyak di bawah," kata dia.

Menurutnya, sliding scale ini bisa jadi semacam insentif untuk meningkatkan tingkat keekonomian. Dengan tetap adanya kegiatan di hulu migas, maka dapat meningkatkan ketahanan energi nasional..

Adapun tentang ketahanan energi, Satya mendefinisikan sebagai ketersediaan sumber energi yang tidak terputus dengan harga yang terjangkau serta ramah lingkungan. Ketersediaan berarti kemampuan untuk memberikan jaminan pasokan energi.

Selain ketersediaan, ketahanan energi juga menyangkut daya beli yakni kemampuan untuk menjangkau harga (keekonomian) energi. Juga, aksesibilitas yakni kemampuan untuk mendapatkan akses terhadap energi. Dan terakhir, tentu saja harus ramah lingkungan.

"Ini berkaitan dengan pemanasan global, yang juga mempengaruhi kehidupan kita yang dampaknya sudah nyata kita rasakan," tutur Satya.

Pada kesempatan tersebut, Satya mengingatkan kembali bahwa Indonesia sangat bergantung pada sumber energi fosil, terutama pada bahan bakar minyak dan batu bara. Dengan pola konsumsi, dan ekspor batubara mengikuti tren selama ini dan bila tidak ada penemuan cadangan baru, maka akan terjadi defisit batu bara pada tahun 2046.

Lalu, dengan cadangan terbukti minyak bumi 3,6 miliar barel dan produksi 288 juta barel, maka cadangan minyak bumi diperkirakan akan habis pada tahun 2029 (13 tahun).

Sedangkan, dengan cadangan terbukti vas Bumi 100,3 TSCF dan produksi 2,97 TSCF, maka cadangan gas bumi diperkirakan akan habis pada tahun 2050 (34 tahun).

Adapun ketergantungan pada minyak lainnya, sebagian besar membahayakan keamanan energi Indonesia karena pasar energi internasional tak terduga, misalnya lantaran ada kejadian ektrem atau lonjakan harga.

Bagaimana cara untuk mengatasi permasalahan tersebut? Satya berpendapat tentang perlunya perubahan paradigma dalam membuat kebijakan energi.

Perubahan paradigma pertama adalah dari basis pendapatan menuju basis pertumbuhan ekonomi (revenue based to economic growth based). Artinya, perubahan paradigma dalam pengelolaan energi dari melihat komoditas hanya untuk mencari uang menjadi modal untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi.

Jika paradigma tersebut berubah, maka sumber energi akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik, mendukung dan memperkuat industri dalam negeri, dan sumber energi tidak diekspor dalam bentuk mentah.

Perubahan paradigma kedua adalah industri mengikuti konsep energi (industry follows the energy concept). Artinya, perubahan paradigma yang membuat multiplier effect yang lebih besar, dengan berubah dari global value change menjadi national value change.

Perubahan paradigma ketiga adalah konversi minyak ke gas bumi. Cara antara lain dengan menggunakan gas alam untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara, dan minyak sampai alternatif bersih menjadi skala yang lebih besar untuk masa depan yang lebih rendah karbon.

Lalu, menjalankan peta jalan konversi BBM ke BBG dengan membangun infrastruktur yang dibutuhkan. Cara lainnya, dengan penggunaan BBG untuk nelayan (1 tabung 3kg senilai Rp20 ribu sd Rp25 ribu dapat digunakan 3 hari atau setara 6 liter senilai Rp 54.000 sd Rp 60.000).

Kemudian, pemanfaatan CNG untuk city gas. Serta, penggunaan BBG untuk transportasi, dengan memberikan insentif untuk kendaraan berbahan bakar gas . Maka, konsumen dapat berhemat karena harga BBG hanya Rp 4.100 per liter setara premium. (dna/drk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads