Selain merombak Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 (PP 79/2010) yang mengatur cost recovery dan pajak di sektor hulu migas, ESDM juga menyiapkan aturan insentif khusus untuk kegiatan eksplorasi migas di laut dalam.
Ini dilakukan karena cadangan minyak terbukti Indonesia tinggal 3,6 miliar barel, bisa habis dalam waktu sekitar 10 tahun lagi. Sebenarnya masih banyak cadangan minyak yang dimiliki Indonesia, tapi lokasinya di laut dalam dan tempat-tempat terpencil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, mengungkapkan salah satu insentif yang ditawarkan untuk pengeboran migas di laut adalah bagi hasil (split) yang besar.
Bagi hasil yang berlaku dalam kontrak bagi hasil (Profit Sharing Contract/PSC) di Indonesia saat ini adalah 85% hasil produksi migas untuk negara dan 15% untuk kontraktor (85:15). Bagian untuk negara akan dikurangi khusus untuk produksi migas di laut dalam, kontraktor bisa mendapat bagi hasil lebih dari 15%.
"Insentif laut dalam contohnya split, tidak sama dengan split untuk kegiatan produksi minyak di darat. Kita sekarang 85:15, bagian negara harus turun supaya atraktif. Indonesia ini ibarat gadis cantik yang tidak dirias," ujar Wirat, dalam diskusi di Gedung Migas, Jakarta, Jumat (9/9/2016).
Insentif untuk pencarian dan produksi migas di laut bukan hanya bagi hasil yang besar saja. Durasi kontrak yang diberikan bisa lebih dari 30 tahun, mungkin sampai 50 tahun, lebih panjang dari masa berlaku kontrak migas di Indonesia sekarang.
Dengan masa kontrak yang lebih panjang, kontraktor juga diberi waktu eksplorasi yang lebih lama dari biasanya. Saat ini masa eksplorasi di Indonesia hanya 6 tahun dan dapat diperpanjang hingga 10 tahun, regulasi baru ini akan memberi waktu lebih panjang lagi karena eksplorasi migas di laut lebih sulit.
"Bukan hanya split, misalnya masa eksplorasi dan eksploitasi. Negara-negara lain ada yang sampai 50 tahun, misalnya di Afrika. Makanya perusahaan-perusahaan migas besar pindah ke sana. Ini insentif untuk laut dalam dan marginal field yang jauh dari mana-mana," papar Wirat.
Insentif laut dalam ini tentu bakal mendongkrak keuntungan yang diperoleh kontraktor. Aturan yang berlaku di Indonesia saat ini memang kurang menguntungkan kontraktor. ENI misalnya, perusahaan migas asal Italia itu hanya memperoleh Internal Rate Return (IRR) sebesar 5% di Lapangan Jangkrik, Selat Makassar.
Padahal, negara-negara lain rata-rata menawarkan IRR rata-rata 25% untuk kontraktor migas, Indonesia di bawah itu. Menurut Wirat, ini gambaran betapa kurang menariknya sektor hulu migas Indonesia. "Contoh saja di laut dalam, di Jangkrik yang dikelola ENI, IRR cuma 5%. Itu sangat butuh insentif agar cukup ekonomis. Rata-rata di dunia IRR 25%," Wirat menuturkan.
Aturan insentif laut dalam akan dibuat dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Menteri (Permen). "Level aturannya Perpres atau Permen. Sedang kita godok," tutup Wirat. (wdl/wdl)











































