Cost recovery adalah biaya operasi yang dihabiskan oleh perusahaan-perusahaan yang menjadi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk memproduksi migas, biaya ini harus diganti oleh negara.
Cost recovery pada tahun ini tidak boleh melampaui US$ 10,4 miliar meski tahun ini dianggarkan US$ 11,6 miliar. Lalu pada tahun 2017 cost recovery tak boleh lebih dari US$ 10 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, penghematan cost recovery harusnya tidak membuat produksi migas jeblok. Sebab, yang dilakukan adalah menghitung biaya dengan lebih detail, mencari harga paling efisien, mencegah mark up. Jadi tidak menghapus program-program untuk eksplorasi dan produksi migas, hanya menekan inefisiensi.
"Misalnya dibilang (harga diklaim) Rp 10, tapi ternyata (harga sebenarnya) Rp 6. Bisa kurang kan? Produksi sama saja, uang kita tambah hemat. Bisa 15-20 persen," ujar Luhut usai rapat dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Kamis (22/9/2016).
Biaya pengeboran tiap sumur misalnya, harusnya beda di setiap lokasi, ada yang mahal dan ada yang murah. Kalau biayanya dipukul rata di angka yang tinggi, tentu terjadi pemborosan.
"Kita mau lihat detail cost recovery itu item per item. Nggak bisa juga seluruhnya dipukul rata, biaya di satu sumur dengan sumur lain kan beda. Mungkin selama ini kita nggak terlalu detail, melihatnya secara umum saja," katanya.
Selain itu, jangka waktu depresiasi peralatan juga bisa diperpanjang. Ini mengurangi cost recovery yang dikeluarkan setiap tahun. Misalnya ada peralatan yang depresiasinya sekarang 8 tahun, padahal bisa lebih. "Kita melihat lebih detail saja. Paling yang mau kita evaluasi soal depresiasi, kenapa 8 tahun sudah depresiasi," Luhut menambahkan.
Luhut optimistis angka cost recovery bisa diturunkan hingga US$ 2 miliar bila setiap item pengeluaran diteliti dan diperhitungkan dengan rinci. "Cost recovery tahun ini kita bikin US$ 10,4 miliar, mungkin tahun depan bisa dihemat US$ 1,5-2 miliar," tutupnya. (dna/dna)











































