Pertemuan ini membahas soal permintaan Inpex Corporation, operator Blok Masela, yang disampaikan kepada Luhut melalui surat pada Agustus 2016 lalu. Masalah ini juga akan dibahas langsung oleh Luhut bersama Inpex nanti malam.
"Mengenai Inpex, pertemuan kami dengan Inpex sudah sangat intensif, 2 kali seminggu. Nanti malam kita juga mau ketemu lagi membicarakan pending issue yang ada," kata Luhut, saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (23/9/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, Inpex meminta jaminan Internal Rate Return (IRR) atau tingkat pengembalian modal sebesar 15% per tahun untuk proyek Masela. Angka 15% adalah rata-rata IRR untuk kegiatan eksplorasi dan produksi migas di laut dalam.
Kedua, Inpex meminta moratorium kontrak selama 10 tahun antara 2006 sampai 2016. Sebab, pemerintah mengganti skema kilang LNG Masela, dari sebelumnya di lepas pantai (offshore) menjadi di darat (onshore). Pergantian skema ini membuat perencanaan berubah sehingga ada waktu yang terbuang.
Dari moratorium ini, Inpex bisa memperoleh perpanjangan kontrak selama 10 tahun sehingga durasi kontrak mereka yang berakhir tahun 2028 bisa menjadi sampai 2038. Dengan begitu, bila Blok Masela berproduksi tahun 2024, Inpex dapat menikmati masa produksi selama 14 tahun. Kalau Inpex hanya menikmati produksi gas Masela selama 4 tahun dari 2024-2028, tentu mereka akan rugi besar, tidak balik modal.
Ketiga, Inpex meminta rencana produksi Liquid Natural Gas (LNG) Masela dinaikkan dari 7,5 MTPA (metric ton per annual) menjadi 9,5 MTPA per tahun. Ini diusulkan agar pengembangan Blok Masela menjadi lebih ekonomis, memberi keuntungan lebih bagi negara maupun kontraktor.
Kata Luhut, untuk saat ini pihaknya belum dapat memberi kepastian pada Inpex. Semuanya masih harus dibahas terlebih dahulu. "Tadi menyangkut moratorium kontrak 10 tahun, biaya yang sudah dia keluarkan sebesar US$ 1,2 miliar, bagi hasil, dan masalah teknis lainnya masih dibicarakan," tutupnya. (wdl/wdl)