Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, yang mewakili pemerintah Indonesia dalam pertemuan itu sangat mendukung keputusan tersebut.
Sebab, Indonesia ingin harga minyak stabil di kisaran US$ 45-60/barel, tidak terlalu rendah tapi juga tidak terlalu tinggi. Kalau produksi negara-negara OPEC bisa ditahan di 32,5 juta bph, keinginan Indonesia bisa terwujud.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wirat menjelaskan, Indonesia sebagai negara eksportir sekaligus importir minyak punya posisi unik. Kalau harga minyak terlalu rendah, industri hulu migas akan menderita. Sementara kalau harga minyak terlalu tinggi, devisa negara terkuras untuk impor minyak.
Maka Indonesia ingin harga stabil di tingkat ideal untuk produsen maupun konsumen minyak bumi, yakni di kisaran US$ 50-60/barel.
"Kita sebagai negara produsen dan konsumen, yang penting adalah stabilitas. Kalau harga rendah, hulu kita nggak bisa maju. Kalau terlalu tinggi, kita sebagai importir juga suffer. Jadi kita memperjuangkan stabilitas harga pada tingkat rasional. Kira-kira US$ 45-60/barel. Jangan sampai terlalu tinggi, jangan sampai terlalu jatuh," paparnya.
Bila harga minyak bisa stabil di tingkat wajar, harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri juga tak akan jauh-jauh dari seperti sekarang. "Kalau harga minyak segitu, harga BBM kita juga akan stabil," imbuh Wirat.
Namun masih tanda tanya apakah keinginan Indonesia ini dapat terwujud setahun ke depan. Pertemuan OPEC kemarin tidak bulat menyepakati pembekuan produksi minyak, hanya mempertimbangkan.
Beberapa negara produsen minyak utama dunia justru ingin meningkatkan produksi karena berbagai alasan. Misalnya karena situasinya sedang darurat perang sehingga butuh banyak uang, baru kembali bebas dari embargo, dan sebagainya. (hns/hns)











































