Hal ini terjadi karena kontraktor-kontraktor seperti Chevron, Total E&P Indonesie, Petro China, dan sebagainya melakukan penjualan minyak lewat Trading Arms atau perusahaan dagangnya. Trading Arms mereka umumnya berkedudukan di Singapura.
Untuk penjualan melalui Trading Arms yang berada di Indonesia, dikenakan pajak 1,5%. Sedangkan jika Trading Arms berada di luar negeri, pajaknya lebih besar lagi, yakni 3%. Akibatnya, kontraktor migas lebih memilih membawa minyak bagiannya ke luar negeri ketimbang menjualnya pada Pertamina di dalam negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait masalah ini, Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, meminta PMK 107/2015 ditinjau ulang. Pihaknya ingin pengadaan minyak dari dalam negeri bisa diperbesar untuk menekan impor.
"Itu sedang kita perjuangkan, sedang kita diskusikan, kita mengusulkan agar minyak kita bisa digunakan sebanyak-banyaknya untuk dalam negeri," kata Wirat kepada detikFinance, di Jakarta, Senin (3/10/2016).
Berdasarkan perhitungan Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina, kalau pajak sebesar 1,5-3% itu dihapus, pengadaan minyak Pertamina dari dalam negeri bisa bertambah sampai 200.000 barel per hari (bph). Sementara sekarang pengadaan minyak mentah dari dalam negeri baru 12.000 bph. Minyak yang diimpor mencapai 400.000 bph. Maka penghapusan PMK 107/2015 bisa menekan impor minyak hingga 50%.
"Maksimal kita bisa tambah 150-200 ribu barel per per hari kalau ini tak kena pajak. Impor kita bisa turun 50%, sekarang kan impor kita 400.000 bph. Hitungan kita, belanja ke tetangga lebih murah daripada belanja dari benua lain. Sekarang (dari dalam negeri) baru 12.000 bph, hanya 6 persen (dari maksimal)," tutur SVP ISC Pertamina, Daniel Purba.
Menurut Daniel, harusnya minyak dari Indonesia yang dibawa kontraktor ke luar negeri yang dipajaki, bukan minyak dari dalam negeri yang dijual ke dalam negeri. Itu sudah dipraktikkan oleh negara-negara lain, misalnya Malaysia.
Malaysia mengenakan pajak sebesar 3% sampai 5% untuk minyak dari negaranya yang dibawa oleh kontraktor ke luar negeri. Itu dilakukan untuk mendorong kontraktor menjual minyaknya ke Petronas. Dengan begitu, impor minyak mentah bisa ditekan.
"Kalau ambil minyak dari Malaysia, biarpun punya kontraktor, kena export duty. Mereka melindungi supaya bisa dijual lebih murah di dalam negeri. Harusnya yang dipajakin yang dibawa ke luar negeri. Di Malaysia 3 sampai 5 persen export duty," tutupnya. (wdl/wdl)