Pertamina: Dulu Industri Tak Mau Pakai Gas, Sekarang Rebutan

Pertamina: Dulu Industri Tak Mau Pakai Gas, Sekarang Rebutan

Michael Agustinus - detikFinance
Jumat, 07 Okt 2016 17:33 WIB
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Vice President LNG PT Pertamina (Persero), Didik Sasongko Widi, mengungkapkan bahwa sebenarnya bisnis dulu gas 'disia-siakan' oleh industri di dalam negeri. Pertamina sangat kesulitan menjual gas di pasar domestik.

Penyebabnya, dulu Indonesia masih kaya minyak, solar disubsidi besar-besaran hingga lebih murah dibanding gas. Apalagi gas membutuhkan pembangunan infrastruktur penyaluran, misalnya pipa, beda dengan minyak solar yang tak infrastrukturnya jauh lebih sederhana. Akibatnya, industri lebih pilih pakai solar ketimbang gas waktu itu.

"Waktu dulu perusahaan-perusahaan di Indonesia, termasuk salah satu BUMN yang besar, ditawari LNG nggak mau. Katanya repot. Maka kita ekspor," kata Didik dalam media briefing di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Jumat (7/10/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Begitulah awal mula dari bisnis Liquified Natural Gas (LNG) alias gas alam cair yang dilakoni Pertamina. Tak dapat pembeli di dalam negeri, Pertamina pun mengolah gas menjadi LNG untuk diangkut dengan kapal (LNG carrier) ke luar negeri.

Selain keengganan dari industri, gas juga jor-joran diekspor karena pembangunan infrastruktur gas terbengkalai selama Indonesia masih kaya minyak. Tanpa adanya infrastruktur, gas tak bisa dipakai di dalam negeri.

"Kenapa banyak yang kita ekspor? Infrastruktur gas kita kurang. Infrastruktur gas kita menyedihkan kalau dibanding negara tetangga. Kita terlalu lama dimanjakan minyak. Di Jawa saja pipa ruas Trans Jawa belum nyambung dari 1996," Didik menuturkan.

Gas baru dilirik oleh industri di dalam negeri dan PLN setelah Indonesia sudah jadi net importir minyak dan era minyak murah berakhir. Solar industri tak lagi disubsidi, harganya jadi mahal sekali. Maka industri dan PLN baru mengeluh kekurangan pasokan gas.

Pemerintah juga berupaya mengurangi ketergantungan pada minyak bumi, sehingga gas menjadi sumber energi yang sangat penting. Dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang disusun pemerintah, porsi minyak dalam bauran energi nasional yang sekarang masih 47 persen harus dikurangi menjadi 25 persen di 2025.

Salah satu caranya ialah dengan menggenjot penggunaan gas. "Minyak akan dikurangi dari 47 persen jadi 25 persen di 2025. Kalau energi terbarukan tak terkejar, yang paling mudah untuk menutupi porsinya adalah gas. Kalau batu bara kotor," ucapnya.

Permintaan gas di dalam negeri makin tinggi dari waktu ke waktu, pertumbuhannya mencapai 4 persen per tahun. Situasi pun akan segera berbalik, Indonesia yang dikenal sebagai eksportir gas harus mulai mengimpor gas pada 2019.

Menurut neraca gas yang disusun Kementerian ESDM, defisit kebutuhan gas pada 2020 mencapai 2,5 bscfd, pada 2030 bertambah lagi menjadi 4,5 bscfd. "Kita lihat pada 2030 kita akan kekurangan gas sampai 4,5 bcfd. Produksi kita sekarang sekitar 7,5 bcfd. 70 persen sekarang permintaan gas dari sektor listrik, industri sekitar 20 persen. 55 persen demand di Jawa," papar Didik.

Maka Pertamina pun mengambil langkah antisipatif dengan menandatangani komitmen impor gas sebanyak 1,5 juta ton per tahun dari Cheniere Corpus Christi, perusahaan asal Amerika Serikat. Kebutuhan gas di dalam negeri harus dijamin agar pertumbuhan ekonomi dapat melaju kencang.

"Kalau suplai gas kurang, pertumbuhan ekonomi berkurang juga. Kita tahun 2020 sudah banyak membutuhkan gas sehingga kita mulai menumpuk komitmen LNG. Kita percaya nanti akan dibutuhkan, kita ambil risiko," tutupnya. (hns/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads