Ada Proyek 35.000 MW dan Kilang Baru, Pertamina Impor Gas di 2019

Ada Proyek 35.000 MW dan Kilang Baru, Pertamina Impor Gas di 2019

Michael Agustinus - detikFinance
Jumat, 07 Okt 2016 18:50 WIB
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta - PT Pertamina (Persero) sejak 2014 lalu telah menandatangani kontrak impor gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) sebesar 1,5 MTPA (million ton per annual/juta ton per tahun) dari Cheniere Corpus Christi, perusahaan asal Amerika Serikat (AS).

Komitmen impor LNG ini dibuat karena Pertamina memperhitungkan permintaan gas di dalam negeri meningkat 4% per tahun. Maka pada 2019, Indonesia akan mulai defisit gas. Kontrak pembelian LNG harus diteken jauh-jauh hari untuk menjamin pasokan.

"Kita tahun 2020 sudah banyak membutuhkan gas sehingga kita mulai menumpuk komitmen LNG. Kita percaya nanti akan dibutuhkan, kita ambil risiko. Komitmen pasokan jangka panjang LNG harus diputuskan 4-5 tahun sebelum delivery guna pembangunan infrastruktur LNG," kata Vice President LNG Pertamina, Didik Sasongko Widi, dalam media briefing di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Jumat (7/10/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Didik menjelaskan, peningkatan kebutuhan gas di dalam negeri pada 2019 terutama didorong oleh program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. Di proyek 35.000 MW, sekitar 12.000 MW di antaranya adalah pembangkit listrik tenaga gas (PLTG).

Bila proyek 35.000 MW selesai tepat waktu, maka pada 2019 ada tambahan PLTG sebanyak 12.000 MW yang membutuhkan LNG 6-8 juta ton per tahun.

"Ada proyek 35 GW, rancangan pemerintah 11-12 GW itu gas, itu butuh LNG 6-8 juta ton per tahun. Ada pasokan LNG dari proyek Train 3 Tangguh itu 3,5 juta ton per tahun. Sisanya 4,5 juta ton kita penuhi," papar Didik.

Selain program 35.000 MW, permintaan LNG dalam jumlah besar juga berasal Refinery Development Master Plan (RDMP) Cilacap dan RDMP Balikpapan. Proyek RDMP Balikpapan akan selesai di 2019 dan RDMP Cilacap pada 2022. Kebutuhan LNG di RDMP Cilacap mencapai 1 juta ton per tahun, sedangkan di RDMP Balikpapan 1,2 juta ton per tahun.

Lalu ada juga pembangunan Grass Root Refinery (GRR) Tuban yang dijadwalkan selesai tahun 2022. Kebutuhan gas kilang Tuban mencapai 160 MMSCFD untuk operasi kilang dan bahan baku petrokimia.

"Kita juga ada RDMP Cilacap dan Balikpapan, itu butuh LNG 1 juta ton dan 1,2 juta ton per tahun. Lalu Tuban perlu 160 MMSCFD untuk kilang dan petrokimia. Kalau (pasokan untuk Kilang Tuban) nggak bisa dari Blok Cepu, kita masukan LNG," ucap Didik.

Memang ada kemungkinan tak semua LNG yang diimpor Pertamina bakal terserap. Untuk proyek 35.000 MW misalnya, beberapa pembangkit raksasa sudah pasti molor penyelesaiannya, maka kebutuhan gas pada 2019 pasti tak sesuai prediksi.

Namun Pertamina tetap harus melakukan antisipasi supaya tak terjadi krisis gas. Kalau memang ternyata permintaan sedikit, kelebihan gas yang diimpor akan dijual lagi ke negara lain.

"Kami tentu menyesuaikan (perubahan-perubahan di lapangan), tapi kita antisipasi. Kita sudah tawarkan ke dalam negeri, kita yakin akan dimanfaatkan untuk domestik. Kalau nggak ada yang mau beli, ya kita jual lagi," pungkasnya. (wdl/wdl)

Hide Ads