Untuk kawasan Sumatera Utara yang harga gasnya mencapai US$ 13/MMBtu misalnya, menurut Luhut, mungkin bisa lebih murah kalau pasokan gasnya berasal dari luar negeri. Saat ini Sumut mendapat gas dari Lapangan Tangguh, Papua.
PT PLN (Persero), pembeli utama gas mahal di Sumut itu, berpendapat bahwa mungkin saja gas impor bisa lebih murah, tapi tidak untuk jangka panjang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau pasar lagi murah, ya mungkin saja. Misalnya dari Timur Tengah mungkin saja lebih murah," kata Direktur Pengadaan PLN, Supangkat Iwan Santoso, kepada detikFinance di Jakarta, Sabtu (15/10/2016).
Lagipula, masih banyak sumber gas di dalam negeri. Karena itu, menurut Iwan, lebih baik sebisa mungkin pasokan gas berasal dari dalam negeri sendiri. Penurunan harga gas bisa dijalankan tanpa harus impor.
"Memang masih ada kajian pemerintah yang mengatakan bahwa energi masih cukup sampai 2035. Jangan sampai kita ekspor tapi kita impor. Kita dukung domestik dulu didahulukan," cetusnya.
Sebelumnya, di rapat terbatas tanggal 4 Oktober 2016 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta harga gas industri diturunkan sampai di bawah US$ 6/MMBtu dalam waktu 2 bulan. Saat ini rata-rata harga gas untuk industri di dalam negeri US$ 9,5/MMBtu, lebih mahal daripada gas di Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan sebagainya.
Direktur Utama PLN, Sofyan Basir, menyatakan bahwa tarif listrik untuk industri pasti ikut turun kalau pemerintah benar-benar menurunkan harga gas. "Kalau itu turun, tarif listrik pasti saya turunkan," tegasnya. (hns/hns)











































