Jokowi Minta Harga Gas Turun Jadi US$ 6/MMBtu, Apa Saja yang Bisa Dipangkas?

Jokowi Minta Harga Gas Turun Jadi US$ 6/MMBtu, Apa Saja yang Bisa Dipangkas?

Michael Agustinus - detikFinance
Senin, 24 Okt 2016 12:07 WIB
Ilustrasi Foto: Dokumentasi PGN
Jakarta - Rata-rata harga gas untuk industri domestik yang mendapat gas melalui pipa adalah US$ 8,3/MMBtu. Sedangkan yang dalam bentuk gas alam cair (liquified natural gas/LNG) rata-rata harganya mencapai US$ 13,13/MMBtu.

Bagaimana harga gas di dalam negeri terbentuk? Apakah bisa diturunkan menjadi US$ 6/MMBtu seperti keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi)?

Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa harga gas di hulu, baik yang dialirkan melalui pipa maupun yang akan diolah menjadi LNG, adalah US$ 5,9/MMBtu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Harga di hulu ini berasal dari capital expenditure (capex) dan operational expenditure (opex) yang diklaim sebagai cost recovery sebesar US$ 2,6/MMBtu. Kemudian ditambah pendapatan bagian kontraktor (contractor share) sebesar US$ 1,2/MMBtu, pendapatan bagian negara bukan pajak (PNBP) US$ 0,92/MMBtu, dan pajak penghasilan (PPh) US$ 1,19/MMBtu. Maka totalnya menjadi US$ 5,9/MMBtu

Kemudian untuk gas pipa, ada biaya transmisi yang rata-ratanya sebesar US$ 0,9/MSCF, dan biaya distribusi US$ 1,56/MSCF, sehingga total menjadi US$ 8,3/MMBtu di pengguna akhir.

Untuk gas dalam bentuk LNG, ada biaya pengolahan gas menjadi LNG dan biaya pengapalan sebesar US$ 1,5-3,83/MMBtu, lalu biaya regasifikasi US$ 1-3/MMBtu, transmisi US$ 0,9/MSCF, dan distribusi US$ 1,5/MSCF. Makanya harganya bisa di atas US$ 10/MMBtu ketika sampai pada industri.

Menurut Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, ada berbagai biaya yang bisa dipangkas supaya harga gas turun. Di hulu, cost recovery bisa diturunkan dengan menekan biaya operasional (opex) dalam kegiatan produksi gas.

Untuk proyek-proyek yang belum berjalan, misalnya Blok Masela dan East Natuna, biaya investasi (capex) juga diupayakan bisa ditekan. Tapi untuk proyek yang sudah jalan, capex tak bisa diutak-atik. Pendapatan bagian kontraktor juga tak boleh dikurangi karena sudah terikat kontrak.

"Untuk proyek-proyek yang sudah jalan kan capex-nya sudah dibayar, nggak bisa diefisiensikan. Yang bisa mungkin opex-nya. Bagian kontraktor sesuai kontrak, harus dihormati," ujar Wirat dalam diskusi di Gedung Migas, Jakarta, Senin (24/10/2016).

Penerimaan negara dari PNBP gas dan PPh yang berkontribusi sebesar US$ 0,92/MMBtu dan US$ 1,19/MMBtu terhadap harga gas bisa dikurangi atau bahkan dihapus. Kalau dihapus seluruhnya, harga gas di hulu bisa berkurang US$ 2,11/MMBtu.

Tapi pemangkasannya harus disetujui oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang bertanggung jawab atas penerimaan negara. "PPh harus kita diskusikan dengan Kemenkeu, PNBP juga apakah bisa dikurangi," ucapnya.

Lalu di midstream (tengah) dan downstream (hilir), biaya di pipa transmisi dan distribusi juga dapat dipangkas. Caranya dengan mengubah formulasi tarif transmisi, memberantas trader-trader gas yang hanya menjadi calo, dan membatasi biaya distribusi gas pada tingkat wajar.

"Untuk transmisi, formula dan depresiasi kita efisienkan. Trader berlapis kita regulasi, margin distribusi kita atur seadil-adilnya," ucap Wirat.

Kesimpulannya, yang bisa segera dipangkas Kementerian ESDM agar harga gas turun seperti keinginan Jokowi adalah opex di hulu, biaya transmisi, dan distribusi gas. Sementara faktor-faktor pembentuk harga lainnya, misalnya PNBP dan PPh, harus melalui proses pembahasan panjang antar kementerian.

"Kontrak-kontrak yang sudah ada kita efisiensi di opex. Lalu biaya transmisi, dan distribusi. Kalau kontrak yang akan datang capex bisa kita efisiensikan juga," Wirat menerangkan.

Selanjutnya, Menteri ESDM, Menko Kemaritiman, dan Menko Perekonomian yang akan memutuskan biaya mana saja yang dipangkas, berapa besar pemangkasannya, serta berapa besar penurunan harga gas untuk industri.

"Nanti kebijakan dibahas oleh Pak Menteri dan Pak Menko," tutup Wirat.

(ang/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads