Hal ini bukan hanya menyangkut besarnya angka subsidi, melainkan pola distribusi yang memang tidak ada perubahan. Sistem distribusi terbuka yang berjalan mendorong terbukanya ruang untuk penyelewengan anggaran. Hasilnya, subsidi menjadi tidak tepat sasaran.
"Ini persoalannya bisa akan sama seperti subsidi BBM," ungkap Tulus Abadi, Ketua Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI) dalam seminar di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu, (30/10/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara berkelanjutan, tekanan akan berujung kepada pemerintah. Sebab subsidi membutuhkan alokasi dari anggaran belanja negara. Mungkin nilainya baru Rp 20 triliun, namun tidak tertutup kemungkinan bisa naik signifikan beberapa tahun mendatang.
"Rentang harga itu membuat migrasi kepada elpiji 3 kg dan akhirnya konsumennya membludak," papar Tulus.
Hal yang senada juga disampaikan oleh Anggota Komisi VII Kurtubi. Menurutnya, belum ada pengajuan dari pemerintah untuk mengubah mekanisme distribusi elpiji 3 kg, walaupun sudah banyak wacana tentang subsidi tertutup.
"Sampai sekarang pemerintah belum mengajukan skema subsidi tertutup," kata Kurtubi pada kesempatan yang sama.
Selain tekanan pada anggaran, penyaluran subsidi ini jauh dari kata keadilan. Subsidi dalam definisinya adalah insentif yang diberikan oleh pemerintah terhadap masyarakat golongan miskin agar mampu menjaga daya belinya. Kondisi sekarang, penerima elpiji 3 kg adalah orang yang tidak termasuk kelompok tidak miskin.
"Elpiji 3 kg itu sudah dipakai menengah ke atas. Karena ada insentif orang untuk pindah. Jadi orang berpikir praktis saja," tegas Kurtubi. (mkl/dna)