Sebagian besar piutang itu adalah tunggakan royalti dari 5 perusahaan tambang pemegang kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) generasi pertama. Tunggakan mereka mencapai Rp 21,85 triliun, yaitu royalti tahun 2008 sampai 2012.
"Kita mencatat piutang ada Rp 26,23 triliun, Rp 21,85 triliun di antaranya merupakan tagihan negara berupa royalti kepada 5 perusahaan PKP2B generasi I periode 2008-2012. Angka ini sudah valid, audited dari BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)," kata Inspektur Jenderal Kementerian ESDM, Mochtar Husein, dalam jumpa pers di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Senin (31/10/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak kendaraan bermotor yang muncul di kemudian hari, dibebankan pada mereka. Kelima perusahaan meminta negara mengembalikan dulu (reimburse) pajak-pajak yang harusnya tidak mereka bayar itu.
"Rp 21 triliun itu sengaja ditahan karena perusahaan yang bersangkutan merasa punya hak berupa PPN dan pajak kendaraan bermotor. Itu sampai sekarang belum diaudit Ditjen Pajak Kemenkeu. Mereka mengklaim karena di PKP2B ada aturan bahwa pajak-pajak yang dikenakan di kemudian hari ditanggung pemerintah, beban pemerintah, harus di-reimburse ke mereka," paparnya.
Masalahnya, sementara ini Ditjen Pajak Kementerian Keuangan belum menghitung total PPN dan pajak kendaraan bermotor yang harus dikembalikan pada kelima perusahaan tambang itu.
"Belum diaudit Ditjen Pajak berapa PPN yang harus di-reimburse ke mereka. Memang cukup lama," ujar Mochtar.
Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Aryono, menyebutkan salah satu dari lima perusahaan pemegang PKP2B generasi I yang menahan setoran royalti 2008-2012 itu adalah PT Adaro Energy Tbk. "Generasi I itu misalnya Adaro, dan sebagainya," tutupnya. (wdl/wdl)











































