Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, mengungkapkan pihaknya sampai 2025 membutuhkan biaya US$ 70 miliar atau setara Rp 910 triliun untuk investasi di hulu migas. Kemudian US$ 15 miliar untuk pembangunan infrastruktur migas, dan US$ 40 miliar untuk proyek-proyek kilang minyak.
Investasi-investasi itu dibutuhkan agar produksi minyak dan gas bumi pada 2025 mencapai target 1,9 juta barel setara minyak per hari (barel oil equivalent per day/boepd), dan produksi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri di atas 2 juta barel per hari (bph).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lewat peningkatan kapasitas kilang minyak itu, impor BBM yang sekarang mencapai 50% dari total kebutuhan bisa ditekan hingga 0% pada 2023. "Kapasitas kilang hanya 800 ribu bph, 50% produk diimpor, besar sekali, itu menghabiskan devisa US$ 80 juta per hari. Sudah 25 tahun lebih Pertamina tidak bangun kilang baru," ucap Dwi.
Dwi juga ingin Pertamina bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Sekarang Pertamina hanya menguasai 24% dari produksi migas nasional. Diharapkan Pertamina bisa dominan dalam produksi migas nasional, seperti Petronas di Malaysia. "Pertamina hanya pegang 24% produksi nasional, tidak seperti Petronas. Padahal Petronas dulu belajar dari Pertamina," ungkapnya.
Dari mana Pertamina bisa mendapatkan modal ribuan triliun rupiah itu untuk investasi di hulu hingga hilir?
Dalam Rapat Kerja Nasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Energi dan Migas baru-baru ini, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyatakan keinginannya agar revisi UU Migas dapat memperkuat Pertamina.
Caranya dengan mengalihkan cadangan migas nasional yang saat ini dikuasakan kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) ke Pertamina.
Cadangan migas nasional akan dijadikan leverage alias aset yang dapat digunakan Pertamina untuk mencari pinjaman.
Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, menyatakan beberapa negara telah melakukan cara tersebut untuk membesarkan BUMN perminyakannya (National Oil Company/NOC). Misalnya di Malaysia, Petronas punya modal yang kuat dan kemampuan investasi yang besar berkat penguasaan cadangan migas nasional.
"Beberapa negara menggunakan aset migasnya sebagai leverage untuk NOC-nya. Itu yang membuat NOC cepat besar kalau dikelola dengan baik. Contohnya Malaysia, aset migas Malaysia untuk leverage Petronas jadi cepat sekali berkembang," kata Wirat.
Kalau Indonesia melakukan hal yang sama, bukan tidak mungkin Pertamina bisa menyaingi Petronas, asalkan modal yang diperoleh dengan menjaminkan cadangan migas nasional dikelola dengan baik.
"Aset hulu kita kan besar sekali. Kalau bisa jadi leverage, misalkan diserahkan ke Pertamina, Pertamina bisa menggunakan sebagai leverage untuk meminjam dana bangun kilang dan sebagainya," tutupnya. (wdl/wdl)