Misalnya membandingkan harga gas di Indonesia yang rata-rata US$ 8,3/MMBtu di pengguna akhir dengan harga gas yang sampai di pelabuhan (landed price) di negara tetangga yang berkisar di US$ 4/MMBtu, tentu saja tidak sebanding.
Landed price harus dibandingkan dengan landed price, harga end user juga harus dibandingkan dengan harga end user. Jika landed price gas alam cair (Liquified Natural Gas) di Indonesia dibandingkan dengan landed price di negara-negara tetangga, ternyata hampir sama saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harus diwaspadai, landed price LNG ya, bukan ke end user, bedakan ya. Harga gas itu ada yang pipeline, ada yang LNG. Di Indonesia LNG sekitar 4,22/MMBtu landed price. Boleh dikatakan landed price LNG kita hampir sama dengan negara-negara tetangga, jadi bukan mahal," kata Arcandra dalam Focus Group Discussion di Sari Pan Pacific, Jakarta, Kamis (10/11/2016).
Begitu juga harga gas ketika sampai di industri (end user). Menurut data Kementerian ESDM yang dipegang Arcandra, ternyata harga gas Indonesia tak semahal yang disebutkan oleh data Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan rata-rata harga gas untuk industri di Singapura sekitar US$ 4-5 per MMBtu, Malaysia US$ 4,47 per MMBtu, Filipina US$ 5,43 per MMBtu, dan Vietnam sekitar US$ 7,5 per MMBtu. Sedangkan Indonesia US$ 8-10/MMBtu.
Sedangkan berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, harga gas bumi untuk industri di Singapura ternyata tidak lebih murah dibanding di Indonesia, bukan US$ 4/MMBtu seperti disebut Kemenperin.
Menurut data Kementerian ESDM, harga gas di Singapura pada periode 30 April 2015 sampai 31 Oktober 2016 berada di kisaran US$ 15,41/MMBtu sampai 18,29/MMBtu. Per 31 Oktober 2016, harga gas di sana US$ 15,96/MMBtu. Sementara harga gas industri di Indonesia rata-ratanya US$ 8,3/MMBtu.
Lalu rata-rata harga gas industri di Malaysia adalah US$ 6,6/MMBtu. Harga di hulu US$ 4,5/MMBtu, lalu ada biaya transmisi US$ 1,6/MSCF, dan biaya distribusi US$ 0,5/MSCF.
Di Thailand, rata-rata harga gas di hulu US$ 5,5/MMBtu, tarif transmisi US$ 0,8/MSCF, dan biaya distribusi US$ 1,2/MSCF, sehingga menjadi US$ 7,5/MMBtu di tangan pengguna.
Kemudian industri di China membeli gas dengan harga rata-rata US$ 15/MMBtu. Rinciannya, di hulu US$ 8/MMBtu, ongkos transmisi US$ 3/MSCF, distribusi US$ 4/MSCF.
Sedangkan di Indonesia harga gas industri rata-rata US$ 8,3/MMBtu. Di hulu US$ 5,9/MMBtu, tarif pipa transmisi US$ 1,5/MSCF, dan tarif pipa distribusi US$ 1,5/MSCF.
"(Harga gas industri) Malaysia US$ 6,6/MMBtu, Thailand US$ 7,5/MMBtu, Australia US$ 8,6/MMBtu, China US$ 15/MMBtu. Kita masih dalam range itu, data mengatakan kita tidak seperti itu (mahal), jangan sampai kita mengatakan harga kita US$ 9/MMBtu dibanding dengan landed price di negara lain," ucap Arcandra.
Dengan data-data di atas, apakah masih relevan untuk menurunkan harga gas industri di dalam negeri sampai di bawah US$ 6/MMBtu? Apakah rencana itu tetap akan dijalankan atau direvisi?
"Kita tunggu strateginya seperti apa," jawab Arcandra.
Harga gas di Malaysia lebih murah karena mereka tidak menjadikan gas sebagai komoditas, tidak ada penerimaan negara dari gas. Di hulu, Negeri Jiran mengorbankan pendapatan bagian negara, hanya ada pendapatan bagian kontraktor saja.
Sedangkan Thailand harga gasnya dipatok berdasarkan harga minyak dunia. Ketika harga minyak sedang rendah seperti sekarang, industrinya bisa memperoleh gas dengan harga murah. Tapi ketika harga minyak tinggi, tentu industri mereka tak bisa menikmati gas murah lagi. Sedangkan China harga gasnya mahal karena sebagian besar berasal dari impor.
Indonesia tidak memberikan subsidi untuk gas industri seperti Malaysia. Formulasi harga gas domestik juga umumnya tidak berpatokan pada harga minyak, tapi bersifat tetap (fix) plus kenaikan tahunan (eskalasi) yang juga tetap, misalnya 2% per tahun. Memang benar harga gas di Indonesia relatif mahal dibanding Malaysia dan Thailand, tapi selisihnya tidak besar. (ang/ang)











































