Industri Penerima 'Diskon' Harga Gas Harus Diseleksi Ketat

Industri Penerima 'Diskon' Harga Gas Harus Diseleksi Ketat

Michael Agustinus - detikFinance
Senin, 14 Nov 2016 17:02 WIB
Ilustrasi Foto: Rengga Sancaya
Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan agar harga gas untuk industri di dalam negeri bisa diturunkan dari saat ini rata-rata US$ 8-10/MMBtu menjadi US$ 6/MMBtu. Keputusan itu diambil Jokowi setelah melihat harga gas industri di berbagai negara berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan rata-rata harga gas untuk industri di Singapura sekitar US$ 4-5 per MMBtu, Malaysia US$ 4,47 per MMBtu, Filipina US$ 5,43 per MMBtu, dan Vietnam sekitar US$ 7,5 per MMBtu. Sedangkan Indonesia US$ 8-10/MMBtu.

Tapi ternyata kajian dari Kementerian ESDM berkata lain. Menurut data Kementerian ESDM, harga gas bumi untuk industri di Singapura ternyata tidak lebih murah dibanding di Indonesia, bukan US$ 4/MMBtu seperti disebut Kemenperin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Harga gas di Singapura pada periode 30 April 2015 sampai 31 Oktober 2016 berada di kisaran US$ 15,41/MMBtu sampai 18,29/MMBtu. Per 31 Oktober 2016, harga gas di sana US$ 15,96/MMBtu. Sementara harga gas industri di Indonesia rata-ratanya US$ 8,3/MMBtu.

Lalu rata-rata harga gas industri di Malaysia adalah US$ 6,6/MMBtu. Harga di hulu US$ 4,5/MMBtu, lalu ada biaya transmisi US$ 1,6/MSCF, dan biaya distribusi US$ 0,5/MSCF. Harga gas di Malaysia lebih murah dibanding Indonesia karena ada subsidi.

Di Thailand, rata-rata harga gas di hulu US$ 5,5/MMBtu, tarif transmisi US$ 0,8/MSCF, dan biaya distribusi US$ 1,2/MSCF, sehingga menjadi US$ 7,5/MMBtu di tangan pengguna. Harga gas untuk industri di Thailand berpatokan pada harga minyak dunia. Saat minyak sedang murah, gas mereka jadi murah, tapi akan mahal kalau harga minyak melonjak.

Kemudian industri di China membeli gas dengan harga rata-rata US$ 15/MMBtu. Rinciannya, di hulu US$ 8/MMBtu, ongkos transmisi US$ 3/MSCF, distribusi US$ 4/MSCF. Sedangkan di Indonesia harga gas industri rata-rata US$ 8,3/MMBtu. Di hulu US$ 5,9/MMBtu, tarif pipa transmisi US$ 1,5/MSCF, dan tarif pipa distribusi US$ 1,5/MSCF.

Kalau melihat data Kementerian ESDM, harga gas di Indonesia ternyata tak berselisih jauh dengan negara-negara tetangga, masih cukup kompetitif. Apakah harga gas tetap akan diturunkan hingga di bawah US$ 6/MMBtu?

Anggota DEN, Abadi Purnomo, menyatakan bahwa harga gas sampai ke pengguna akhir dengan harga US$ 6/MMBtu telah menjadi ketetapan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 (Perpres 40/2016), sudah perintah langsung dari Jokowi.

"Perpres 40 telah mengamanatkan US$ 6/MMBtu di pengguna akhir," kata Purnomo dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (14/11/2016).

Dia menambahkan, di luar kenyataan bahwa harga gas industri di Indonesia tak semahal yang diperkirakan sebelumnya, ada fakta lain bahwa banyak inefisiensi di struktur biaya. Harga gas di dalam negeri harusnya memang lebih murah, perlu solusi jangka panjang untuk menciptakan efisiensi.

Salah satu upaya pemerintah untuk menurunkan harga gas adalah dengan mengorbankan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) gas di hulu. Purnomo menggarisbawahi, industri penerima 'diskon' harga gas harus diseleksi ketat supaya uang yang dikorbankan negara tak terbuang percuma.

Industri yang ingin gas murah di bawah US$ 6/MMBtu harus bisa membuktikan bahwa mereka sudah beroperasi dengan efisien, kalah bersaing dengan produk dari negara tetangga bukan karena tidak efisien. Jangan sampai industri minta gas murah, padahal mereka kalah bersaing bukan karena harga gas di negara lain lebih murah, tapi memang mereka tidak efisien.

"Kita ingin penyelesaian jangka panjang dari ujung ke ujung. Setiap industri yang mengajukan harga gas, harus transparan efisiensi energinya, apakah sudah ada upaya-upaya efisiensi sehingga harga gas jangan jadi alasan tidak bisa bersaing," ucapnya.

Harus dihitung juga apakah dengan penurunan harga gas maka industri tersebut bisa lebih berdaya saing dan memenangkan kompetisi. Juga multiplier effect yang dihasilkan dari kemajuan industri itu. Jangan sampai negara sudah berkorban triliunan rupiah tapi sia-sia karena industri tetap tak kompetitif.

"Jadi harus dibuka dampak cost gas terhadap produk dan nantinya bisa bersaing atau tidak. Begitu kita menghilangkan bagian negara, yang dikorbankan bukan cuma itu, kita juga harus membayar PPN reimbursement kepada KKKS," tutup Purnomo. (ang/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads