Hanya 4,1 juta pelanggan 900 VA saja yang tetap disubsidi karena digolongkan sebagai Rumah Tangga Miskin (RTM) menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Dengan adanya pencabutan subsidi untuk sebagian besar pelanggan 900 VA ini kebutuhan subsidi listrik menurun dari Rp 65,15 triliun pada tahun ini menjadi Rp 44,98 triliun pada 2017. Ada penghematan sekitar Rp 20 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dana Rp 20 triliun itu bisa dialihkan ke program-program pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Di antaranya untuk melistriki daerah-daerah terpencil yang selama ini belum berlistrik.
"Penghematan anggaran subsidi listrik dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur. Tentunya itu tidak hanya untuk listrik tapi juga yang lain-lain, infrastruktur di daerah remote juga," kata Jarman usai coffe morning di Ditjen Ketenagalistrikan, Jakarta, Jumat (18/11/2016).
Dia menambahkan, ke depan pembangunan infrastruktur kelistrikan akan membutuhkan anggaran makin besar. Sebab, kota-kota besar sudah terlistriki, sekarang elektrifikasi mengarah ke pedalaman.
Agar target rasio elektrifikasi sebesar 97% pada 2019 dapat tercapai, infrastruktur kelistrikan di daerah terpencil, terluar, dan terisolasi harus segera dibangun. Itu semua butuh dana besar, maka subsidi yang tidak tepat sasaran harus dicabut demi menerangi masyarakat di daerah terpencil.
"Untuk listrik, kita punya target rasio elektrifikasi tahun 2019 harus 97%, sekarang kan 2016 sekitar 89,5%, berarti kita harus meningkatkan 7,5% dalam 3 tahun. Padahal daerah-daerah yang harus dilistriki makin remote, baik di pegunungan, daerah terpencil, pulau-pulau, butuh dana besar. Yang jelas biaya untuk melistriki akan lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya," tutupnya. (dna/dna)











































