Sebab, program 35.000 MW dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi mencapai 7% per tahun. Sementara pertumbuhan ekonomi dalam 2 tahun terakhir masih di kisaran 5%. Maka peningkatan konsumsi listrik tak sebesar perkiraan awal.
Selain itu, saat ini total pembangkit listrik di program 35.000 MW yang sudah selesai dibangun dan beroperasi secara komersial (Commercial Operation Date/COD) baru sekitar 200 MW atau 0,5%. Sebagian besar masih dalam proses pembangunan, yang akan selesai sampai 3 tahun lagi kira-kira 19.000 MW.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab, cadangan daya (reserve margin) listrik di Pulau Jawa sudah lebih dari 30%, sudah sangat aman. Jadi pasokan listrik akan tetap terjaga keandalannya meski banyak proyek yang ditunda.
"Kalau di luar Jawa tidak ada yang dikurangi. Yang dikurangi itu di Jawa yang sekarang sudah surplus 36%. Saya ulangi, di luar Jawa tidak ada yang saya kurangi," tegas Sofyan saat ditemui di Ditjen Ketenagalistrikan, Jakarta, Jumat (18/11/2016).
Berbeda dengan Jawa, cadangan daya listrik di luar Jawa masih rendah, masih perlu banyak tambahan pembangkit listrik agar reserve margin mencapai 30%. Misalnya di Sumatra, surplus listrik hanya 8%. Begitu juga di Kalimantan, total kapasitas listriknya hanya lebih besar 7% dibandingkan kebutuhan listrik saat beban puncak.
"Jawa hari ini sudah di atas 30% surplusnya. Di Sumatra 8%, Kalimantan masih 7%, untuk mencapai 30% itu kita harus bangun, tidak boleh berhenti di luar Jawa itu. Jadi program 35 GW luar Jawa tidak akan pernah ada yang dikurangi," tandasnya.
Beberapa proyek di luar Jawa bahkan malah dipercepat supaya selesai sebelum 2019.
"Yang Sumatra kan 2x150 MW, 2x300 MW, 100 MW, pembangkit gas itu selesai 24 bulan. Saya bangun 2018 pun masih keburu," tutup Sofyan.
Sebagai informasi, target 35.000 MW sampai 2019 dinilai terlalu besar oleh Kementerian ESDM. Pasokan listrik sebesar itu tak akan terserap seluruhnya pada 2019. Kalau 35.000 MW selesai tepat waktu malah berisiko merugikan PLN. Sebab dalam kontrak jual beli (Power Purchase Agreement/PPA) antara Independent Power Producer (IPP) sebagai pemilik pembangkit listrik dengan PLN sebagai pembeli listrik ada mekanisme Take or Pay.
Berdasarkan mekanisme itu, PLN harus membayar setidaknya sekitar 80% dari kapasitas maksimal pembangkit listrik meski pasokan yang dipakai di bawah itu. Jadi misalkan pembangkit milik IPP berkapasitas 100 MW, tapi hanya 50 MW yang mengalir karena tak banyak industri yang menyerapnya. PLN tetap harus membayar untuk 80 MW meski pemakaian hanya 50 MW. (dna/dna)











































