ESDM Kaji Ulang Aturan Energi Baru Terbarukan

ESDM Kaji Ulang Aturan Energi Baru Terbarukan

Michael Agustinus - detikFinance
Selasa, 29 Nov 2016 16:05 WIB
ESDM Kaji Ulang Aturan Energi Baru Terbarukan
Foto: Michael Agustinus-detikFinance
Jakarta - Wakil Menteri (Wamen) ESDM, Arcandra Tahar, menyatakan akan mengkaji ulang aturan-aturan Feed in Tariff listrik dari energi baru terbarukan (EBT), baik yang masih dalam penyusunan maupun yang sudah diterbitkan. Rencana ini disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional Kadin Indonesia Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup di Hotel Kartika Chandra hari ini.

Peninjauan kembali aturan tarif ini mempercepat pengembangan EBT. Saat ini pengembangan EBT masih terhambat oleh masalah harga yang belum ideal bagi investor sebagai penjual maupun PT PLN (Persero) sebagai pembeli.

Pemerintah berupaya mencari titik temu yang ideal bagi kedua belah pihak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Beberapa hal yang tengah dikerjakan berkaitan dengan usaha pemerintah untuk bisa mencapai target penggunaan EBT 23 persen dari bauran energi nasional pada 2025. Beberapa Permen, baik yang sudah ditandatangani maupun belum, di-review," kata Arcandra dalam sambutannya di Kartika Chandra, Jakarta, Selasa (29/11/2016).

Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Rida Mulyana menambahkan, aturan hanya direvisi, tidak dicabut, yang berubah hanya soal tarif.

"Pak Wamen kan tadi pagi menyampaikan review tarif. Permen-nya itu kan kalau direvisi itu bukannya dicabut. Cuma yang direvisi itu bukan Permen-nya tapi tarifnya, bisa jadi lebih tinggi atau bisa lebih rendah," ujarnya.

Salah satu yang akan direvisi contohnya Feed in Tariff listrik dari tenaga sampah. Tarif akan diturunkan atau dinaikkan dengan menghitung kembali variabel-variabel seperti biaya operasi (operational expenditure/opex) yang dibutuhkan, tingkat pengembalian modal (Internal Rate Return/IRR), teknologi yang digunakan, dan sebagainya.

"Misalnya PLTSa (pembangkit listrik tenaga sampah , kalau hitungan kita US$18,77 sen/kWh itu kan dengan opex Rp 100 triliun. Opex itu benar atau tidak tergantung dengan teknologi yang digunakan. Kedua, indikatornya IRR 14%. Kalau ini (IRR) dinaikkan pasti daya tariknya juga naik, kalau diturunkan pasti turun. Ini masalah asumsi. Asumsi ini yang mau di-review, formula hitungannya sama," tutup Rida. (hns/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads