Irak sedang berperang melawan ISIS sehingga perlu banyak uang untuk biaya perang, Iran baru terbebas dari embargo ekonomi dan butuh dana pembangunan, kondisi ekonomi Venezuela sedang kacau balau. Itulah sebabnya mereka keberatan menurunkan produksi minyak.
Belum lagi ada produksi minyak serpih (shale oil) di Amerika Serikat (AS). Situasi ini membuat pasokan minyak tahun depan kemungkinan masih membanjir, maka harga minyak sulit menembus angka US$ 60/barel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya pikir harga minyak tahun depan hanya naik sekitar US$ 10/barel, harga minyak masih susah menembus US$ 60/barel. Negara-negara Arab masih membanjiri pasokan dan sebagainya, susah," ujar Dermawan.
Meski demikian, menurutnya, harga minyak akan tetap terkerek karena ada peningkatan konsumsi energi di berbagai negara. Pertumbuhan ekonomi pada 2017 diprediksi lebih baik ketimbang 2016. Kegiatan industri yang lebih menggeliat membuat kebutuhan akan minyak bumi naik.
"Kelihatannya akan naik sedikit harga minyak karena masing-masing negara konsumsinya meningkat, industrinya mulai tumbuh lagi," ucapnya.
Kenaikan permintaan terutama datang dari China dan India. 2 negara Asia ini pertumbuhan ekonominya jauh di atas negara-negara lain di seluruh dunia.
"Pertumbuhan ekonomi dunia memang agak lambat, hanya sekitar 3%. Yang terbesar itu kenaikan permintaan di China dan India, mereka pertumbuhan ekonominya sekitar 7%," tutupnya. (hns/hns)











































