Masalahnya, PT PLN (Persero) tak mau membeli listrik dari pengembang EBT dengan tarif sesuai yang ditetapkan pemerintah. Sebab, harga jual listrik PLN ke masyarakat hanya sekitar Rp 1.400/kWh, sedangkan harga listrik EBT di atas itu.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi Baru Terbarukan dan Lingkungan Hidup, Halim Kalla, menyatakan bahwa pemerintah perlu menyediakan subsidi untuk menutup selisih antara harga yang bisa ditanggung PLN dengan harga yang layak untuk pengembang EBT.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PLN kan korporasi dan harus profit. Dia kan jual listrik ke masyarakat sekitar Rp 1.400/kWh, jadi dia harus beli dengan harga di bawah itu. Sementara investasi EBT masih mahal, teknologinya mahal. Misalnya PLTS, yang ekonomis sekitar US$ 17 sen/kWh atau Rp 2.000/kWh. Berarti ada selisih Rp 600/kWh. Pemerintah harus memberi subsidi," papar Halim kepada detikFinance di Jakarta, Jumat (2/12/2016).
Halim menambahkan, Indonesia bisa mencontoh cara pemberian subsidi untuk EBT di beberapa negara. Misalnya dengan mengambil sebagian dana hasil penjualan minyak bumi untuk mensubsidi EBT.
Dana yang diambil dari keuntungan penjualan minyak itu dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU). BLU ini yang membayarkan subsidi kepada PLN.
"Sekarang pemerintah lagi mencari dari mana dana untuk mendukung itu. Di beberapa negara, negara jual minyak, diambil beberapa sen dolar untuk mensubsidi EBT, dikelola BLU," cetusnya.
Pihaknya juga menyarankan agar istilah 'subsidi' untuk EBT diganti menjadi 'insentif'. Sebab, subsidi pengertiannya mengarah pada bantuan dari negara untuk orang miskin. Pengusaha EBT tentu bukan orang miskin.
Sedangkan istilah insentif dinilai lebih tepat karena pengertiannya adalah kemudahan dari negara untuk pelaku usaha. "Memang di DPR persepsinya subsidi harus untuk orang miskin, sedangkan pengembang EBT bukan orang miskin. Kalau urusan EBT jangan dibilang subsidi, tapi insentif. Yang namanya pengusaha perlu insentif untuk melaksanakan ini," tutupnya. (dna/dna)











































