Cerita Arcandra Bikin Alat Pengeboran Minyak Canggih di Peru

Cerita Arcandra Bikin Alat Pengeboran Minyak Canggih di Peru

Michael Agustinus - detikFinance
Selasa, 06 Des 2016 11:20 WIB
Foto: Michael Agustinus
Jakarta - Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan salah satu kendala yang menghambat pengembangan Blok East Natuna adalah teknologi. Sejak cadangan gasnya ditemukan tahun 1973 atau 43 tahun lalu, sampai sekarang Blok East Natuna belum digarap.

Sebab, kandungan CO2 Blok East Natuna sangat tinggi, sekitar 70%. Belum ditemukan teknologi yang cukup ekonomis untuk memisahkan kandungan CO2 sebesar itu.

Hal ini amat disayangkan karena cadangan gas di Blok East Natuna adalah yang terbesar di Indonesia, yaitu 46 TCF atau lebih dari 4 kali lipat cadangan gas Blok Masela.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Demikian dijelaskan Arcandra dalam Forum Bisnis Pengembangan Migas di Kawasan Natuna yang diselenggarakan Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) di Hotel Crowne Plaza, Jakarta, Selasa (6/12/2016).

"Coba lihat Blok East Natuna, besar sekali, tapi sampai sekarang didiamkan. Reserve-nya besar, bukan remote area, cost (untuk pengembangan) mungkin, tapi terutama karena teknologinya belum ekonomis atau akan ekonomis," kata Arcandra.

Tapi bukan berarti Blok East Natuna tak bisa dikembangkan dalam waktu dekat. Arcandra menuturkan bahwa dirinya pernah membuat alat pengeboran minyak untuk sebuah lapangan marjinal di Peru yang kondisinya mirip dengan East Natuna pada tahun 2010.

"Tahun 2010, ada sebuah lapangan di Peru di mana saya sendiri juga sebelumnya nggak tahu bahwa Peru punya lapangan minyak. Dia minta dibuatkan desain platform untuk drilling dan production. Ini sangat marjinal lapangannya. Tapi dia sangat terbuka dengan tekno. Kita lihat, dalamnya 54 meter, hampir sama dengan Natuna. Dia minta tahan gempa sampai 9,5 skala richter. Produksinya 10.000 bph (barel per hari), dia minta didesainkan 24 wheel. Kemudian dia minta fast track, kurang dari 2 tahun selesai," tuturnya.

Arcandra berhasil menyelesaikan riset pembuatan alat pengeboran untuk lapangan marginal di Peru itu dalam waktu tak sampai 2 tahun, dimulai pada Januari 2011 dan selesai Oktober 2012. Pemasangan alat tidak menggunakan crane karena lapangan berada di daerah terpencil. Alat pengeboran dibuat seperti mainan lego, bisa dipasang dan dipindah-pindahkan tanpa crane.

Alat ini berhasil digunakan di lapangan. Sekarang lapangan itu sudah berproduksi. Harga alat pengeboran itu, menurut Arcandra, tergolong murah.

"Kita mulai riset Januari 2011, kita mulai desain. Idenya simpel, seperti mainan anak-anak saja, persis kayak kita main lego, nggak pakai crane. Selesai Oktober 2012. Sekarang mereka sudah drill and produce," ujarnya.

Belajar dari pengalaman Peru itu, Arcandra berpendapat bahwa Indonesia pun harus terbuka pada teknologi-teknologi baru di bidang pengeboran minyak dan gas. Masalahnya, sulit memasukkan alat-alat berteknologi baru ke Indonesia, prosesnya paling cepat 5 tahun.

Sebab, temuan-temuan baru di bidang pengeboran migas memang belum benar-benar teruji. Kalau alat tersebut digunakan dan gagal, bisa merugikan negara.

"Tantangan di Natuna hampir sama. Teknologi yang sama (dengan yang dipakai di Peru) mungkin bisa kita bawa ke sini. Yang menjadi kendala adalah sewaktu teknologinya kita bawa paling tidak 5 tahun, nggak bisa 20 bulan. Peru, negara dunia ketiga, dia berani 20 bulan. Sementara kita, pasti ditanya kalau ini gagal bagaimana apalagi menggunakan dana APBN," paparnya.

Arcandra berpendapat bahwa Indonesia harus lebih berani mengambil risiko. Bila teknologi-teknologi baru tak bisa segera masuk ke Indonesia, pengembangan lapangan-lapangan minyak yang marginal sulit dipercepat. Blok East Natuna misalnya, tak bisa dikembangkan dengan teknologi yang eksisting.

"Yang namanya lapangan marginal harus bisa di-develop. Tanpa teknologi, saya pesimis. Kalau pakai teknologi eksisting, cost-nya mahal, nggak ekonomis, apalagi harga minyak lagi turun," ucapnya.

Maka penggunaan teknologi-teknologi termutakhir di industri hulu migas harus didorong. "Harapan saya, IATMI bisa mndorong pengembangan teknologi, bagaimana agar lapangan marginal bisa dikembangkan dengan teknologi," tutupnya. (ang/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads