Tingginya harga listrik ini, kata Jokowi, berpengaruh terhadap iklim investasi di Indonesia. Listrik mahal membuat industri di dalam negeri jadi kurang efisien.
PT PLN (Persero) menjelaskan bahwa 'makelar listrik' yang membuat harga jadi lebih mahal itu kebanyakan berada di daerah-daerah terpencil. Makelar ini jadi 'middle man' bahan bakar untuk pembangkit listrik, penjualan dari produsen ke PLN melalui mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Contoh lainnya adalah batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Ada batu bara yang dibeli tidak langsung dari pemilik tambang, tapi lewat perusahaan dagang.
"Harusnya langsung dari tambang. Tapi ada yang di tengah (perantara), yang nggak punya tambang," ucap Made.
Ia menjelaskan, PLN membeli bahan bakar dari broker karena jalur distribusi ke daerah terpencil sangat sulit. Di Papua misalnya, Pertamina hanya mengantar BBM sampai ke depo di kota besar. Lalu PLN harus mengambil sendiri ke depo.
Masalahnya, kadang PLN tak punya alat-alat angkut yang memadai untuk melewati medan berat berupa hutan belantara, rawa-rawa, pegunungan, dan sebagainya.
"Ongkos mengambil BBM ke Depo Pertamina ini yang mahal. Kadang harus pakai helikopter, harganya (solar) per drum bisa jadi Rp 14 juta," tutur Made.
Inilah yang membuat biaya produksi listrik jadi tak efisien. PLN terpaksa menggunakan jasa perantara untuk mengangkut bahan bakar sampai ke lokasi pembangkit listrik.
"Kalau penjualannya langsung kan nggak ada margin untuk yang di tengah-tengah," ujarnya.
Tapi makelar-makelar ini hanya bisa berbisnis energi fosil saja. Sedangkan pembangkit-pembangkit listrik yang memakai energi baru terbarukan (EBT) bebas dari praktek percaloan. Sebab, EBT, misalnya panas bumi, tak bisa dipindah-pindahkan, pasti ada di dekat pembangkit listrik.
"Kalau pembangkit EBT biasanya B to B (business to business) dari IPP (Independent Power Producer/IPP) langsung ke PLN," tutupnya. (mca/ang)











































