Menelisik Potensi 'Harta Karun Energi' Indonesia

Menelisik Potensi 'Harta Karun Energi' Indonesia

Muhammad Aminudin - detikFinance
Senin, 16 Jan 2017 11:41 WIB
Foto: Agung Pambudhy
Malang - Indonesia banyak menyimpan potensi geothermal sekitar 29 Giga Watt atau setara dengan 40% dari potensi dunia. Potensi geothermal alias 'harta karun energi' ini banyak tersimpan di gunung berapi atau disebut dengan Volcano Hosted Geothermal hingga 80%.

Dosen Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Sukir Maryanto, mengatakan, Indonesia memiliki jumlah gunung api terbanyak di dunia yakni sekitar 127 gunung api atau 13,3% dari keseluruhan gunung api (volcano) dunia.

Akan tetapi, kata dia, Indonesia belum menyadari adanya potensi tersebut. Sukir menilai monitoring masih lemah, apalagi piranti untuk monitoring memakai teknologi tahun 1970.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dari mega proyek pembangkit listrik 35 Giga Watt yang dikebut pemerintah Republik Indonesia, geothermal ditarget mampu menyumbang 9 Giga Watt. Selama ini geothermal (panas bumi) baru menyumbang 1.500 Mega Watt, 5% dari keseluruhan potensi yang ada.

"Jumlah tersebut disumbang dari eksplorasi yang dilakukan di Gunung Kamojang (Jawa Barat), Dataran Tinggi Dieng (Jawa Tengah), Lahendong (Sulawesi Utara), Ulubelu (Lampung), Ijen (Jawa Timur)," sebut Sukir kepada wartawan, Senin (16/1/2017).

Sukir mencontohkan, di Hawaii misalnya, geothermal telah memasok 20% dari keseluruhan kebutuhan listrik kawasan tersebut. Beberapa pemain geothermal Indonesia, disebut Sukir adalah Star Energy, Medco Energy, PGE (Pertamina Geothermal Energy), Chevron, HiTay Holdings Turki. Untuk Jawa Timur sendiri, eksploitasi panas bumi di Ijen dilakukan oleh Medco.

Sukir menyampaikan bahwa eksplorasi dan eksploitasi geothermal merupakan aktivitas padat teknologi yang membutuhkan biaya tinggi. Karena itu, subsidi pemerintah masih sangat diperlukan. Dari aturan yang ditetapkan pemerintah, geothermal tidak masuk sebagai barang tambang sehingga bisa digunakan baik langsung maupun tidak langsung. "Pemanfaatan geothermal langsung diantaranya pada agrifarm, sementara yang tidak langsung adalah pembangkit listrik," kata alumni program Doktor Kyota University, Jepang, ini.

Sukir berencana membangun pusat penelitian volcano geothermal di kawasan Agrotechnopark yang dimiliki Universitas Brawijaya berada di Cangar, Kota Batu. Selama ini, lanjut Sukir, penelitian tentang volcano dan geothermal di Indonesia dilakukan secara terpisah, padahal, menurutnya, 80% dari potensi geothermal Indonesia adalah volcano geothermal, yang diberi nama Volcano Hosted Geothermal. "Belum banyak yang menyadari hal ini. Walaupun telah menyadari, tetapi tidak dilakukan kajian lebih lanjut," ujarnya.

Dia mengaku, hasil koordinasi dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung, diketahui bahwa lokasi observatori PVMBG yang ada di Tretes ternyata tidak bisa melihat langsung aktivitas Gunung Welirang. Justru yang bisa melihat langsung aktivitas tersebut ada di kawasan Agrotechnopark Cangar.

Akses jalur menuju Gunung Welirang rencananya akan dibangun dari Agrotechnopark, serta bekerja sama dengan Tahura, pihaknya berencana untuk membuka stasiun seismik, stasiun magneto thermic, di lereng Arjuno dan Welirang sebagai pusat penelitian dan pusat studi.

Bahkan, Sukir sudah menggandeng lembaga Hydrogeology and geothermic Centre di Swiss, Sukir juga berencana mengembangkan kajian hidrogeologi di Cangar.

Disebut Sukir, kawasan Welirang juga direncanakan menjadi kawasan mandiri energi melalui pemanfaatan micro hydro. Dari informasi ESDM, potensi geothermal di kawasan ini adalah 110 Kwh dengan manifestasi diantaranya air panas, sulfatara, fumarol yang telah diukur dengan alat magneto thermic.

Dengan aktivitas Welirang saat ini, Sukir pun berupaya mengembangkan inovasi dalam mengintegrasikan model terbaru monitoring dan eksplorasi yang belum pernah disentuh siapa pun.

Sejarah monitoring gunung api, disampaikan Sukir, diinisiasi oleh aktivitas vulcano Gunung Kelud pada 1919 yang ditandai dengan adanya terowongan Belanda di kawasan itu.

Arjuno dan Welirang, menurut Sukir merupakan gunung tipe B yakni gunung yang tertidur dulu. "Namun jika lengah maka bisa seperti Sinabung. Sinabung itu tertidur selama 400 tahun dan begitu bangun, tidak berhenti. Wedhus gembelnya Sinabung masih terus berlangsung," terangnya.

Karena ditujukan untuk lembaga pendidikan dan penelitian, maka pihaknya tidak akan melakukan monitoring system di Cangar. Monitoring tetap wewenang PVMBG. Penelitian monitoring di antaranya bisa digunakan untuk wahana pendidikan kesiapsiagaan bencana, serta edukasi terkait pengetahuan volcano geothermal.

"Bahwa volcano itu berbahaya tetapi bisa dimanfaatkan dan eksplorasi harus proposional karena ada unsur bahayanya juga. Dan Indonesia memiliki jumlah volcano tertinggi namun monitoringnya terendah. Sementara Jepang memiliki jumlah volcano nomor dua di dunia tetapi monitoringnya tertinggi di dunia dengan kesadaran dan pemahaman bencana telah diajarkan sejak TK," bebernya. (ang/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads