Dengan menggunakan gross split, bagi hasil minyak antara negara dan PHE ONWJ sebagai kontraktor 42,5:56,5, maka bagian kontraktor adalah 56,5% dari hasil produksi tanpa ada tambahan dari cost recovery.
Negara tidak menanggung biaya operasi yang dikeluarkan untuk memproduksi migas (cost recovery), seluruhnya menjadi tanggungan kontraktor. Jadi bagian yang diterima negara bersih 42,5%, tidak dipotong cost recovery.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Permen ESDM 08/2017 pasal 1 dijelaskan, kontrak bagi hasil gross split adalah kontrak bagi hasil dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian gross produksi, tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi.
Pasal 3 menyebutkan, kontrak bagi hasil gross split wajib memuat ketentuan-ketentuan pokok, yaitu penerimaan negara, wilayah kerja dan pengembaliannya, kewajiban pengeluaran dana, perpindahan kepemilikan hasil produksi atas migas, jangka waktu, dan kondisi perpanjangan kontrak.
Juga penyelesaian perselisihan, kewajiban pemasokan migas untuk kebutuhan dalam negeri, berakhirnya kontrak, kewajiban pasca operasi pertambangan, keselamatan dan kesehatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup, pengalihan hak dan kewajiban, pelaporan yang diperlukan, rencana pengembangan lapangan, pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia, pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, pengembangan masyarakat sekitar, dan jaminan hak masyarakat adat.
Tercantum di pasal 4, bagi hasil dalam skema gross split dihitung berdasarkan bagi hasil awal (base split), komponen variabel (variable split), dan komponen progresif (progresif split). Variable dan progresif split akan menambah dan mengurangi base split bagian negara atau bagian kontraktor.
Pasal 5 mengatur, base split untuk minyak bumi adalah 57% bagian negara dan 43% bagian kontraktor. Sedangkan untuk gas 52% bagian negara dan 48% bagian kontraktor.
Variable split yang dapat menambah split untuk kontraktor adalah status wilayah kerja, lokasi lapangan, kedalaman reservoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, jenis reservoir, kandungan karbondioksida (CO2), kandungan hidrogen sulfida (H2S), berat jenis minyak bumi, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) saat pengembangan lapangan, dan tahapan produksi.
Sedangkan progresif split adalah harga minyak bumi dan jumlah kumulatif produksi migas. Semua komponen variabel dan komponen progresif disebutkan di pasal 6 ayat 2 dan 4.
Selanjutnya pasal 7 menerangkan, Menteri ESDM dapat memberikan tambahan split hingga 5% kepada kontraktor ketika perhitungan komersialisasi lapangan tidak mencapai keekonomian. Sebaliknya, Menteri ESDM juga dapat mengurangi split kontraktor hingga 5% untuk diberikan pada negara bila keekonomian lapangan sudah melebihi keekonomian tertentu.
Pasal 12 ayat 1 menyatakan, penerimaan kontraktor (contractor take) dalam bagi hasil gross split merupakan bagian kontraktor yang dihitung berdasarkan persentase gross produksi setelah dikurangi pajak penghasilan (PPh).
Selain mengatur bagi hasil, aturan baru ini pada pasal 17 ayat 1 dan 2 mewajibkan kontraktor untuk memenuhi kebutuhan migas di dalam negeri. Kontraktor harus menyerahkan 25% dari migas bagiannya untuk keperluan dalam negeri dengan harga sesuai Indonesia Crude Price (ICP).
Soal TKDN dan tenaga kerja, pasal 18 ayat 1 mewajibkan kontraktor memprioritaskan penggunaan tenaga kerja, barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dari dalam negeri.
Meski tak ada cost recovery, seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam kegiatan usaha hulu migas yang dibeli kontraktor menjadi milik negara. Begitu juga tanah yang dibebaskan kontraktor, menjadi milik negara. Ditetapkan di pasal 21 dan pasal 22.
Permen ESDM 08/2017 ini telah diteken oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan pada 13 Januari 2017 dan diundangkan pada 16 Januari 2017. (mca/wdl)