Anggota DEN, Tumiran, mengungkapkan Jonan akan segera mengeluarkan aturan baru soal harga EBT di setiap daerah. Tarif EBT dipatok tak boleh lebih dari 85% Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik di daerah.
BPP adalah rata-rata biaya produksi listrik, maka harga EBT harus di bawah rata-rata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah akan berupaya supaya EBT betul-betul terukur keekonomiannya. Harga EBT tidak sama di berbagai wilayah. Disesuaikan dengan potensi, untuk tiap-tiap daerah tidak sama, tapi maksimum 85% BPP regional, bukan BPP nasional," ucap Tumiran, dalam jumpa pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (23/1/2017).
Rinaldy Dalimi, anggota DEN lainnya, menambahkan PT PLN (Persero) sudah setuju dengan patokan dari Jonan itu. Jonan akan segera menetapkannya dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen). "Sekarang itu dikeluarkan Pak Menteri, kita sepakat dengan PLN, berarti PLN setuju," tuturnya.
Tetapi patokan harga EBT sebesar 85% BPP regional ini masih perlu dimatangkan lagi. Sebab, potensi EBT di Pulau Jawa akan sulit sekali dikembangkan kalau patokannya begini. BPP listrik di Jawa hanya sekitar Rp 800/kWh, EBT kurang ekonomis untuk dikembangkan dengan harga hanya sekitar Rp 650/kWh.
Maka perlu kebijakan khusus untuk Jawa. Misalnya khusus pulau Jawa patokannya adalah BPP nasional, bukan BPP regional. BPP listrik nasional saat ini sekitar Rp 1.400/kWh.
"Papua itu BPP tinggi sekali, lebih dari Rp 2.000/kWh. Jadi 85% dari itu cukup tinggi. Yang jadi masalah di Jawa yang BPP-nya sudah rendah. Tentu akan ada langkah-langkah khusus supaya EBT juga berkembang di Jawa," cetusnya.
Patokan harga EBT sebesar 85% BPP regional juga tak berlaku untuk EBT jenis tertentu seperti panas bumi dan sampah. Sebab, energi panas bumi dan sampah butuh dana investasi besar, risiko bisnisnya tinggi.
"Untuk PLTSa (pembangkit listrik tenaga sampah) dan PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) tadi disebutkan bisa lebih dari 85% BPP regional karena sampah dan panas bumi ini berbeda. Misalnya panas bumi, risikonya tinggi, itu disadari oleh pemerintah. Tapi tetap diminta berunding dengan PLN," pungkasnya. (mca/wdl)











































