Bahkan menurut Direktur Riset Hulu Minyak dan Gas Wood Mackenzie Asia Pacific, Andrew Harwood, industri minyak dan gas (migas) Indonesia saat ini seperti restoran jadul yang menunya tidak pernah berubah dari pertama buka sampai saat ini.
"Industri minyak Indonesia itu ibarat restoran yang buka 30 tahun lalu. Pada waktu itu banyak orang datang ke sana. Rasanya enak, harganya murah, service-nya bagus. Sukses dan bisa bersaing dengan restoran-restoran lain," kata dia saat Media Briefing di kantornya, 3 Church Street, Singapura, Senin (23/1/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun tetap saja pemilik restoran Indonesia Indonesia tidak mau berubah. Masih saja menu yang sama dalam beberapa dekade terakhir.
"Sementara restoran lain sudah buka cabang di berbagai tempat. Akhirnya, pelanggan pun perlahan-lahan mulai berpindah. Manajemen restoran Indonesia tetap tidak mau adaptasi," ujarnya.
Akibatnya, jumlah pembeli mulai berkurang. Omzet pun tidak seramai biasanya. Ingin omzet tetap tumbuh malah naikkan harga.
Jumlah staf pun tidak ditambah dengan yang lebih berkualitas. Tidak ada investasi yang bisa digelontorkan untuk menggenjot penjualan.
"Hasilnya ya sekarang ini. Produksi juga tidak berkembang, pencarian sumur-sumur baru tidak seperti dahulu, investor baru juga akhirnya melirik ke negara-negara lain," ujarnya.
Salah satu negara yang saat ini dianggap seksi oleh investor minyak adalah Myanmar. Ada penemuan sumur-sumur baru yang berpotensi digarap.
Jika tidak mau ketinggalan, Indonesia juga harus sudah memikirkan bagaimana menarik para investor tersebut agar investor tidak kabur ke negara lain. (ang/wdl)