Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, mengungkapkan pembangkit tersebut merupakan pembangkit pertama di Asia yang dilengkapi dengan Floating Storage Regasification Unit (FSRU). Fasilitas ini berfungsi sebagai terminal penerimaan gas, dimana gasnya akan disediakan PLN dari Lapangan Tangguh di Papua.
Selain itu, dengan hanya satu pembangkit saja, maka PLTGU Combined Cycle Gas Turbine (CCGT) ini juga tercatat sebagai pembangkit berbasis gas terbesar yang ada di Asia Tenggara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Dwi, pembangunan PLTGU Jawa 1 ini juga sekaligus jadi bukti kerjasama 2 BUMN. Meski diakuinya, sempat terjadi pembahasan alot yang membuat kesepakatan kontrak pembelian listrik molor cukup lama.
"Katanya selama ini kalau 2 BUMN besar sulit bekerjasama. Proyek ini menjadi bukti nyata sinergi 2 BUMN besar Indonesia, Pertamina sebagai energi company dan PLN sebagai perusahaan listrik nasional," ujar Dwi.
Selain Pertamina dengan kepemilikan 40%, konsorsium ini terdiri dari Marubehi Corporation sebesar 40%, dan Sojitz Corporation dengan kepemilikan 20%. Mereka kemudian membentuk perusahaan baru yakni PT Jawa Satu Power (JSP). Total investasi yang dibutuhkan mencapai US$ 1,8 miliar atau Rp 24 triliun.
Sementara itu, Direktur Pengadaan PLN, Supangkat Iwan Santoso, mengatakan listrik yang dari pembangkit ini dijual ke PLN dengan harga US$ 5,5 sen per kilowatt hour (kWh). Namun dirinya belum menghitung berapa pengaruh pada tarif listrik ke pelanggan PLN.
"Karena harga gas kan bergerak terus, harga US$ 5,5 sen ini asumsinya harga gas US$ 5,3 dolar per MMBtu. Gasnya setahun 17 kargo atau 170 juta BTU," ungkap Iwan. (idr/mca)











































