Patokan Harga Energi Terbarukan Buatan Jonan Tak Bakal Diprotes PLN

Patokan Harga Energi Terbarukan Buatan Jonan Tak Bakal Diprotes PLN

Michael Agustinus - detikFinance
Kamis, 02 Feb 2017 17:01 WIB
Ilustrasi Foto: Dokumentasi PGN
Jakarta - Menteri ESDM Ignasius Jonan baru saja menandatangani Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Permen ESDM 12/2017). Regulasi ini menetapkan patokan harga maksimum untuk listrik dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi.

Di era Sudirman Said, PLN dan Kementerian ESDM kerap berbeda pendapat soal harga pembelian listrik dari energi baru terbarukan (EBT). Tapi kali ini Kementerian ESDM yakin hal serupa tak akan terjadi lagi.

Sebab, Jonan justru membatasi harga listrik dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas paling tinggi hanya 85% dari biaya pokok produksi (BPP) listrik di daerah tempat beroperasinya pembangkit listrik EBT tersebut. Misalkan BPP setempat sebesar Rp 2.000/kWh, maka PLN membeli listrik dari pengembang EBT dengan harga semahal-mahalnya Rp 1.700/kWh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di peraturan-peraturan yang dibuat menteri sebelumnya, tarif listrik dari pembangkit EBT ditetapkan di atas rata-rata BPP secara nasional yang saat ini kurang lebih Rp 1.400/kWh. Dulu PLN keberatan karena pembelian listrik dengan harga di atas BPP memerlukan tambahan subsidi. Kalau PLN yang menanggungnya, itu mengurangi laba perusahaan.

Sekarang listrik dari EBT tak perlu disubsidi lagi karena harganya di bawah BPP. Malahan bisa menurunkan BPP secara nasional. Jadi PLN pasti mau membelinya. Penyusunan aturan juga sudah melibatkan PLN.

"Ini tidak lagi ditolak PLN karena tidak ada yang di atas BPP. Ini memang sudah dibicarakan dengan PLN. Jadi masuknya pembangkit ini tidak meningkatkan BPP, malah bisa menurunkan BPP. Jadi harusnya tidak ada masalah lagi," papar Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman, dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (2/2/2017).

Permen ESDM 12/2017 juga mendorong PLN meningkatkan efisiensi. Sebab, kalau mereka bisa memproduksi listrik dengan biaya lebih rendah, BPP jadi turun, harga EBT juga jadi lebih murah.

"BPP kan tiap tahun makin efisien, otomatis harga EBT juga lebih baik lagi. Kalau sekarang kan BPP makin efisien, harga berikutnya lebih rendah lagi, nantinya sampai titik optimal, sama dengan BPP nasional," papar Jarman.

Aturan ini dibuat supaya para pengembang EBT terus mencari teknologi-teknologi baru yang dapat memanfaatkan EBT dengan biaya lebih murah. Jadi EBT memang harus didorong untuk menurunkan emisi karbon, menjaga kelestarian lingkungan, tapi harganya juga harus efisien.

Jika harganya terlalu tinggi, ujung-ujungnya rakyat yang rugi. Biaya produksi listrik mahal tentu akan dibebankan PLN pada masyarakat. Karena itulah pemerintah menetapkan harga listrik EBT harus di bawah BPP.

"Kita ingin pemanfaatan EBT bisa memanfaatkan teknologi tinggi dan efisien. Secara harga kita bisa dapat harga terjangkau, tapi juga bisa memperbaiki kondisi lingkungan. Dasar harganya adalah BPP. Tujuannya menurunkan BPP setempat yang masih tinggi," tutupnya.

Secara ringkas, berikut daftar harga maksimal untuk listrik dari pembangkit EBT yang dipatok Jonan:
  • Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS): 85% BPP setempat
  • Pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB): 85% BPP setempat
  • Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di bawah 10 MW: 85% BPP setempat
  • Pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm): 85% BPP setempat
  • Pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBg): 85% BPP setempat
  • Pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa): 100% BPP setempat
  • Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP): 100% BPP setempat
Untuk daerah-daerah yang memiliki rata-rata BPP sangat rendah, di bawah rata-rata nasional, misalnya Jawa yang BPP-nya hanya sekitar Rp 900/kWh, tarif EBT dipatok maksimal sesuai BPP nasional atau Rp 1.400/kWh. (mca/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads