Demikian diungkapkan Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman, yang melihatnya sendiri saat berkunjung ke Kamboja baru-baru ini.
Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan juga mengungkapkan hal serupa. Jonan menemukan bahwa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), bisa menghasilkan listrik dengan harga cuma US$ 2,99/kWh alias Rp 390/kWh.
Jarman menyatakan, ini adalah bukti bahwa ada yang salah dalam pengelolaan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Ia mengaku heran, jangankan dengan UEA, negara tertinggal seperti Kamboja saja bisa memproduksi listrik EBT dengan biaya lebih efisien dibanding Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itulah sebabnya Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Permen ESDM 12/2017). Regulasi ini menetapkan patokan harga maksimum untuk listrik dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi.
Dalam aturan ini, Jonan membatasi harga listrik dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas paling tinggi hanya 85% dari BPP listrik di daerah tempat beroperasinya pembangkit listrik EBT tersebut.
Misalkan BPP setempat sebesar Rp 2.000/kWh, maka PLN membeli listrik dari pengembang EBT dengan tarif semahal-mahalnya Rp 1.700/kWh. Untuk daerah-daerah yang BPP-nya sangat rendah, di bawah rata-rata nasional sebesar Rp 1.400/kWh, dibatasi maksimal sesuai BPP secara nasional.
Dengan begitu, para pengembang EBT mau tak mau harus mencari teknologi-teknologi baru yang dapat memanfaatkan EBT dengan biaya lebih murah. Jadi EBT memang harus didorong untuk menurunkan emisi karbon, menjaga kelestarian lingkungan, tapi harganya juga harus efisien.
Jika harganya terlalu tinggi, ujung-ujungnya rakyat yang rugi. Biaya produksi listrik mahal tentu akan dibebankan PLN pada masyarakat. Karena itulah pemerintah menetapkan harga listrik EBT harus di bawah BPP.
Permen ESDM 12/2017 juga mendorong PLN meningkatkan efisiensi. Sebab, kalau mereka bisa memproduksi listrik dengan biaya lebih rendah, BPP jadi turun, harga EBT juga jadi lebih murah.
"BPP kan tiap tahun makin efisien, otomatis harga EBT juga lebih baik lagi. Kalau sekarang kan BPP makin efisien, harga berikutnya lebih rendah lagi, nantinya sampai titik optimal, sama dengan BPP nasional," tutupnya. (mca/dna)











































