Cerita Adaro Cari Pinjaman Rp 5,4 T Untuk Proyek PLTU Kalsel 200 MW

Cerita Adaro Cari Pinjaman Rp 5,4 T Untuk Proyek PLTU Kalsel 200 MW

Michael Agustinus - detikFinance
Senin, 06 Feb 2017 15:38 WIB
Foto: Ari Saputra
Jakarta - PT Tanjung Power Indonesia (TPI), perusahaan patungan PT Adaro Power dan PT EWP Indonesia, pada 24 Januari 2017 berhasil mendapatkan komitmen pembiayaan (Financial Close) sebesar US$ 422 juta, atau sekitar Rp 5,4 triliun, dari 6 bank untuk proyek PLTU Tabalong 2 x 100 megawatt (MW) di Kalimantan Selatan (Kalsel).

Keenam bank pemberi pinjaman (lender) tersebut adalah, Korea Development Bank (KDB), Bank of Tokyo, DBS, Mizuho, Sumitomo, dan HSBC. Total nilai investasi untuk PLTU Tabalong 200 MW adalah US$ 545 juta, US$ 422 juta di antaranya dari utang atau pinjaman.

Pinjaman yang setara dengan Rp 5,48 triliun ini tidak diperoleh dengan mudah. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi TPI agar lender percaya dan mau mencairkan pinjaman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wakil Direktur Utama Adaro Power, Dharma Djojonegoro, mengungkapkan semua perizinan, isi kontrak, status lahan, reputasi lahan semuanya diteliti oleh lender sebelum Financial Close.

"Semua mesti beres. Izin semua harus sudah ada. Tata ruang mesti beres, segala kontrak dipelototin. Setelah proses paralel, semua dipelototin sampai titik koma, klausul kontrak dilihat per kalimat. Mereka ada konsultan khusus untuk menilai," kata Dharma dalam diskusi dengan media di Oakwood, Jakarta, Senin (6/2/2017).

Total Adaro Power membutuhkan waktu selama 2 tahun sejak perjanjian jual beli listrik (PJBL/Power Purchase Agreement/PPA) untuk mencapai Financial Close dalam proyek PLTU Tabalong. Banyak masalah tak terduga yang timbul di lapangan dan membutuhkan waktu cukup panjang untuk menyelesaikannya, misalnya persoalan tata ruang untuk lokasi pembangkit listrik.

"Proses financial close pembangkit listrik enggak gampang. Kita PPA November 2014. Banyak problem tata ruang, 6 bulan kita beresin. Di daerah tiba-tiba berubah tata ruangnya. Gitu-gitu lah, banyak yang unpredictable," tutur Dharma.

Pembebasan lahan, izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), mengurus Hak Guna Bangunan (HGB), semuanya makan waktu berbulan-bulan. Belum lagi perizinan lainnya. "Perizinannya, di sini tanah sering enggak jelas siapa yang punya, AMDAL. Tanah rata-rata harus HGB, nego harganya (lahan) bisa 6 bulan. AMDAL enggak mungkin 6 bulan," paparnya.

Belum lagi urusan teknis seperti pemesanan boiler, generator, dan mesin peralatan untuk pembangkit lainnya. Mengangkut mesin-mesin seperti generator pun butuh pengaturan khusus.

Berat generator mencapai 150 ton, jalan yang dilalui untuk mengangkut generator dari pelabuhan sampai pembangkit harus sangat kuat, bisa menahan beban ratusan ton. "Lender juga melihat kita jalannya lewat mana, bisa atau enggak generator sampai ke lokasi," katanya.

Meski baru Financial Close pada Januari 2017, pembangunan PLTU Tabalong sudah dimulai sejak Juni 2016. Adaro mengeluarkan dana dari kantongnya sendiri sebesar US$ 130 juta untuk memulai tahap konstruksi.

PLTU Tabalong 2 x 100 MW dijadwalkan akan selesai dan beroperasi secara komersial (Commercial Operation Date/COD) pada kuartal I-2019. Kontrak PPA berlaku selama 25 tahun. Setelah itu pembangkit akan menjadi milik PLN karena menggunakan pola kerja sama Build, Own, Operate, Transfer (BOOT).

"Secara overall, progres pembangkit sudah di atas 40%. Lahannya sudah bebas semua, pekerjaan sudah dimulai, alat-alat sudah dibeli, sebagian peralatan yang diorder sudah datang. Kita dari awal sampai sekarang sudah keluar US$ 130 juta untuk peralatan utama, generaror, trafo, penyiapan lahan," tutupnya. (mca/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads