Dalam tender PLTGU Jawa-Bali 3 dan 4, Adaro Power berpartner dengan perusahaan asal Singapura, yaitu Sembcorp. Saat ini mereka sedang mengikuti pra kualifikasi proyek PLTGU Jawa-Bali 3 dan 4.
PLTGU Jawa-Bali 3 berkapasitas 500 megawatt (MW) akan dibangun di Banten, sedangkan PLTGU Jawa-Bali 4 kapasitas 450 MW berlokasi di Jawa Barat. Keduanya merupakan bagian dari program 35.000 MW yang dilaksanakan oleh PT PLN (Persero).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menambahkan, akan ada banyak tender pembangkit lain yang diikuti oleh Adaro Power. Ini terkait dengan rencana bisnis Adaro ke depan. Adaro telah mulai melakukan diversifikasi bisnis, perusahaan yang dipimpin Garibaldi 'Boy' Thohir itu tak ingin hanya bergantung pada pertambangan batu bara saja.
Proyek pembangkit yang paling diincar oleh Adaro tentu saja pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang dekat dengan tambang-tambang batu bara mereka. PLTU mulut tambang yang sedang didorong pemerintah juga masuk bidikan.
"Kami berkomitmen kuat masuk ke industri listrik, masuk ke proyek 35.000 MW. Salah satu bisnis yang akan dikedepankan adalah power. Kami sih mau ikut tender sebanyak-sebanyaknya. Pertama ke tender-tender yang dekat tambang kami, yang pasokan batu baranya dari kita," cetusnya.
Tapi bukan hanya pembangkit batu bara saja yang akan digarap Adaro Power, pembangkit gas juga dilirik, misalnya PLTGU Jawa-Bali 3 dan 4. Sebab, porsi pembangkit gas di program 35.000 MW dan dalam bauran energi di masa mendatang sangat besar, ada banyak peluang di sana.
"Gas pegang peran penting dalam bauran energi ke depan. Adaro Power harus masuk gas juga," tandasnya.
Pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) juga tak lepas dari perhatian Adaro Power. Tapi kata Dharma, pihaknya ingin mempelajari dulu aturan harga EBT yang baru. Jika patokan harga di Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 cukup menjanjikan, Adaro tertarik ikut lelang proyek pembangkit EBT.
"Kami ingin masuk ke renewable juga. Tapi renewable kami ingin pelajari Permen-nya (peraturan menteri) dulu. Kami sekarang lagi bikin untuk keperluan sendiri PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) 2 MW, investasinya US$ 1 juta per MW," ucapnya.
Adaro Tak Keberatan dengan Skema BOOT dan Denda Delivery Or Pay
Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) yang baru saja diundangkan, Menteri ESDM Ignasius Jonan menetapkan semua pembangkit listrik yang telah habis PJBL-nya bakal menjadi milik negara.
Tapi semua PJBL alias Power Purchase Agreement (PPA) yang bakal diteken PLN dengan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) ke depan harus memakai pola kerja sama Build, Own, Operate, Transfer (BOOT). Dengan skema BOOT, pembangkit menjadi aset negara begitu PPA berakhir.
Dharma mengaku sama sekali tak keberatan dengan skema BOOT itu. Pihaknya tak akan dirugikan. Toh PPA yang selama ini ditandatangani oleh Adaro Power dengan PLN sudah menggunakan pola kerja sama tersebut, pembangkit miliknya akan diserahkan pada PLN setelah kontrak habis.
"Kebetulan kami punya 2 PPA sama PLN, dua-duanya pakai skema BOOT, enggak masalah. Kami sudah biasa," katanya.
Ia juga tak keberatan dengan mekanisme Delivery Or Pay yang berdasarkan Permen ESDM 10/2017 wajib diterapkan dalam PPA-PPA baru. Delivery Or Pay adalah kebalikan dari Take Or Pay. Adaro Power siap menjaga keandalan pasokan listrik dari pembangkit-pembangkit miliknya.
Jika Take Or Pay mewajibkan PLN menyerap listrik dari IPP dalam jumlah minimal sekian persen dari kapasitas total pembangkit listrik, Delivery Or Pay mewajibkan IPP memasok listrik ke PLN dalam jumlah tertentu.
Kalau IPP tak mampu memasok sesuai kontrak misalnya karena mesin pembangkitnya rusak, maka PLN bisa menjatuhkan denda Delivery Or Pay.
"Prinsipnya oke, enggak ada problem. Reputasi kami bagus. Kalaupun enggak ada Delivery Or Pay, kami enggak dibayar PLN (jika pembangkit kerap rusak). Kalau enggak dibayar PLN, enggak bisa bayar utang, reputasi kami ke lender jadi jelek," tutupnya. (mca/wdl)











































