Jonan membatasi harga listrik dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas paling tinggi hanya 85% dari biaya pokok produksi (BPP) listrik di daerah tempat beroperasinya pembangkit listrik EBT tersebut. Misalkan BPP setempat sebesar Rp 2.000/kWh, maka PLN membeli listrik dari pengembang EBT dengan harga semahal-mahalnya Rp 1.700/kWh.
Di peraturan-peraturan yang dibuat menteri sebelumnya, tarif listrik dari pembangkit EBT ditetapkan di atas rata-rata BPP setempat. Sekarang sebaliknya, listrik dari EBT harganya di bawah BPP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Energi primer di Jawa dan Sumatera kan sudah murah. EBT belum prioritas. Memang fokusnya ke Indonesia Timur, Sulawesi, Kalimantan. Kan tidak apa-apa," kata Sofyan Basir, saat ditemui di Kantor Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/2/2017).
Di Indonesia Timur yang masih banyak mengandalkan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), pemanfaatan EBT seperti air, surya, angin, dan sebagainya akan sangat menguntungkan. Dengan harga di bawah rata-rata BPP setempat, listrik dari EBT dapat membuat tarif listrik jadi lebih murah.
"Untuk EBT kan 85% BPP dari masing-masing daerah. Di Indonesia Timur, kan masih pakai diesel, kita hitung berapa BPP di wilayah itu. Sepanjang dia lebih murah dari BPP, maka dia akan menurunkan BPP setempat," papar Sofyan.
Aturan baru Jonan ini mendorong PLN untuk lebih giat mendorong pengembangan EBT. Sebab, semakin besar porsi EBT dalam bauran energi listrik, PLN bisa makin efisien. "Misalkan BPP Rp 1.000/kWh, maka EBT maksimum Rp 850/kWh, kan BPP akan turun. BPP masing-masing daerah akan lebih baik," tutupnya. (mca/wdl)











































