Dengan mengacu dan berpegang pada UU dan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah TETAP Menghormati semua isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dan masih sah berlaku.
"Atas dasar itu semua pemegang Kontrak Karya (KK) dapat melanjutkan usahanya seperti sedia kala dan TIDAK wajib mengubah perjanjian menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sepanjang pemegang KK tersebut melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (Pasal 169 dan pasal 170 UU No 4/2009)," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, dalam keterangan tertulis Sabtu (18/2/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun mereka tetap diwajibkan membangun smelter dalam jangka waltu 5 tahun. Progres pembangunan smelter akan diverifkasi oleh verifikator independen setiap 6 bulan. Jika progres tidak mencapai minimal 90% dari rencana maka rekomendasi ekspor akan dicabut," terang Jonan.
Fakta yang terjadi saat ini adalah:
PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) telah menyatakan terima kasih atas persetujuan Pemerintah mengubah perjanjian KK menjadi IUPK. PT AMNT telah mengajukan permohonan rekomendasi ekspor No 251/PD-RM/AMNT/II/2017 disertai pernyataan komitmen membangun smelter. Atas dasar itu Dirjen Minerba telah menerbitkan rekomendasi ekspor No 353/30/DJB/2017 pada Jumat (17/2/2017).
PT Freeport Indonesia (PTFI) menolak perubahan dari KK menjadi IUPK. Sesuai hasil pembahasan bersama yang melibatkan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan PTFI, pemerintah telah memberikan hak yang sama di dalam IUPK setara dengan yang tercantum di dalam KK, selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam 6 bulan sejak IUPK diterbitkan.
Sesuai Pasal 169 UU No 4/2009, stabilitas investasi memungkinkan untuk didapatkan.
"Namun PTFI menyatakan tetap menolak IUPK dan menuntut KK tetap berlaku," ungkap Jonan.
PTFI telah mengajukan rekomendasi ekspor melalui surat No 571/OPD/II/3017 tanggal (16/2/2017) dengan menyertakan pernyataan komitmen membangun smelter. Sesuai IUPK yang telah diterbitkan, Dirjen Minerba menerbitkan rekomendasi ekspor untuk PTFI No 352/30/DJB/2017 pada (17/2/2017).
Pesan Jonan ke Freeport
Menurut informasi yang beredar PTFI juga menolak rekomendasi ekspor tersebut.
"Saya berharap kabar tersebut tidak benar,karena Pemerintah mendorong PTFI agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi, termasuk perpanjakan izin, yang akan dikoordinasi oleh Ditjen Minerba dan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu serta BKPM," tutur Jonan
"Saya berharap PTFI tidak alergi dengan adanya ketentuan divestasi hingga 51% yang tercantum dalam perjanjian Kontrak Karya yang pertama antara PTFI dan Pemerintah Indonesia, dan juga tercantum dengan tegas dalam PP No 1/2017," lanjut Jonan.
Memang ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30% karena alasan pertambangan bawah tanah. Namun, divestasi 51% adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Bapak Presiden, agar PTFI dapat bermitra dengan Pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua khususnya, juga ikut menikmati sebagai PEMILIK tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia.
Terkait wacana PTFI membawa persoalan ini ke arbitrase, itu adalah langkah hukum yang menjadi hak siapa pun. Pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.
"Namun, itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah. Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga, dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata," pungkas Jonan. (hns/hns)