Hadapi Masalah Freeport, Jonan Berpegang Pada UUD 1945

Hadapi Masalah Freeport, Jonan Berpegang Pada UUD 1945

Danang Sugianto - detikFinance
Senin, 20 Feb 2017 16:24 WIB
Hadapi Masalah Freeport, Jonan Berpegang Pada UUD 1945
Foto: Fadhly Fauzi Rachman/detikFinance
Jakarta - Hubungan antara Pemerintah dengan PT Freeport Indonesia semakin memanas. Hari ini President dan CEO Freeport McMoran Inc, Richard C. Adkerson, secara terbuka mengancam akan menuntut pemerintah Indonesia ke Abritase Internasional, bila persoalan tidak selesai.

Menteri ESDM, Ignasius Jonan, tak gentar menghadapi ancaman tersebut. Menurutnya, pemerintah saat ini hanya ingin menjalankan kebijakan sesuai konstitusi yang tertuang dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945.

"Semua Undang-Undang turunannya itu harus mengacu ke UUD 1945. Kalau tidak biasanya dibawa ke judicial review ke MK (Mahkamah Konstitusi). Nah, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan keputusan yang dijadikan UU di DPR itu semua mengacu ke situ," tutur Jonan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (20/2/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam amanat UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, seluruh perusahaan pertambangan di Indonesia memang diwajibkan untuk membangun pabrik pemurnian alias smelter. Jangka waktu yang diberikan dalam UU tersebut 5 tahun setelah diundangkan.



Waktu yang diberikan dalam UU tersebut sebenarnya sudah lewat, namun pemerintah memberikan kelonggaran bagi perusahaan tambang yang ingin tetap melakukan ekspor konsentrat (mineral yang sudah diolah tetapi belum sampai tahap pemurnian), dengan mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Dalam IUPK tersebut juga tetap ada syarat bangun smelter selama 5 tahun. Pemegang IUPK juga diwajibkan melakukan divestasi saham hingga 51%. Namun Freeport Indonesia menolaknya.

"Semua perjanjian tentu harus mengikuti landasannya konstitusi. Kan enggak bisa orang bikin perjanjian atau perikatan perdata menyimpang dari konstitusi. Kecuali tidak diatur dalma konstitusi itu. Semua resolusi PBB sejak 1961, 1969 itu ada juga yang mengatur setiap negara berdaulat berhak mengelola SDA (Sumber Daya Alam) sesuai konstitusi masing-masing," tegas Jonan.

Seperti diketahui, pada 10 Februari 2017 lalu, pemerintah telah menyodorkan IUPK kepada Freeport sebagai pengganti KK. Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga, kegiatan operasi dan produksi di Tambang Grasberg pasti terganggu.

IUPK bukan Kontrak Karya, dan posisi pemerintah sebagai pemberi izin jadi lebih kuat daripada korporasi sebagai pemegang izin. Sedangkan KK memposisikan pemerintah dan Freeport sebagai 2 pihak yang berkontrak dengan posisi setara. Ini adalah langkah pemerintah untuk memperkuat penguasan negara terhadap kekayaan alam.

Tapi Freeport tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).

Pada 17 Februari 2017 lalu, Freeport Indonesia sudah bertemu dengan Pemerintah untuk memberikan poin-poin keberatan. Kedua pihak ini pun memiliki waktu 120 hari sejak keesokan harinya untuk mencari win-win solution. Namun jika tidak mencapai titik temu, Freeport akan mengambil jalan Abritase. (wdl/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads