Salah satunya, pemerintah Indonesia meminta dimasukkan sebagai prefered nation untuk impor minyak dari Arab Saudi, sehingga bisa mendapat prefered price. Dengan menjadi prefered nation, Indonesia bisa mendapatkan harga minyak yang lebih murah dibanding harga normal.
Indonesia ingin mendapatkan 'diskon' untuk impor minyak sebesar 110.000 barel per hari (bph) dari Arab. Jenis minyak yang diimpor adalah Arabian Light Crude.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia juga menjajaki impor Liquifed Petroleum Gas (LPG) dari Arab Saudi.
"LPG kita mencoba juga impor dari Saudi Aramco," ungkapnya.
Selain itu, proyek-proyek kilang yang dikerjakan Pertamina akan ditawarkan pada BUMN perminyakan Arab Saudi, yaitu Saudi Aramco. Saat ini Pertamina dan Saudi Aramco sudah bekerja sama di proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Cilacap.
"Satu proyek upgrading kilang itu nilai investasinya US$ 5,4 miliar sampai US$ 6 miliar," papar Sujatmiko.
Pemerintah juga mendorong agar GACA, operator Bandara Internasional King Abdul Aziz di Jeddah, segera memberikan lisensi kepada PT Pertamina (Persero) supaya bisa berjualan avtur di bandara mereka.
Rencananya, Pertamina akan membentuk perusahaan patungan (Joint Venture/JV) dengan perusahaan lokal Arab Saudi, Dallah, untuk menjadi penyedia avtur di Bandra Internasional King Abdul Aziz.
"Untuk avtur kita minta dipercepat izinnya. Kalau izin keluar, Pertamina bisa menindaklanjuti. Sudah ada 6 penyedia avtur di Jeddah, Pertamina akan menjadi yang ke-7," tukasnya.
Bandara King Abdul Aziz dinilai sebagai pasar yang amat potensial bagi Pertamina karena tingginya frekuensi penerbangan dari Indonesia ke sana.
"Sekarang penerbangan dari Indonesia ke Jeddah kan meningkat, ada Garuda dan sebagainya," tutupnya. (mca/hns)











































