Jonan membatasi harga listrik dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas paling tinggi hanya 85% dari biaya pokok produksi (BPP) listrik di daerah tempat beroperasinya pembangkit listrik EBT tersebut. Misalkan BPP setempat sebesar Rp 2.000/kWh, maka PLN membeli listrik dari pengembang EBT dengan harga semahal-mahalnya Rp 1.700/kWh.
Di peraturan-peraturan yang dibuat menteri sebelumnya, tarif listrik dari pembangkit EBT ditetapkan di atas rata-rata BPP setempat. Sekarang sebaliknya, listrik dari EBT harganya di bawah BPP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Negara sebagai harus bersikap adil dan melindungi seluruh rakyatnya, seperti 'ibu' memperlakukan 'anak-anaknya'. Rakyat miskin yang tidak mampu ibarat 'anak paling kecil', paling lemah, harus lebih dilindungi daripada anak-anak yang lain.
Maka tarif listrik harus dibuat seefisien mungkin, BPP harus ditekan, agar terjangkau oleh seluruh rakyat, termasuk rakyat kecil.
"Kami mengusahakan EBT 23% dari bauran energi nasional di 2025. Saya ke Austria 3 bulan lalu. Warga Negara Indonesia (WNI) di sana tanya ke saya, EBT di Indonesia bagaimana? Kalau diterapkan at any cost, jawaban saya sangat sulit. Kalau tarif listrik naik 10-20%, orang-orang kayak saya mungkin cuma ngomel saja, tapi tetap beli. Tapi ada saudara-saudara kita yang penghasilannya enggak sama dengan kita. Ibu-ibu kalau anaknya banyak, pasti yang dibelain yang paling kecil," ujar Jonan dalam diskusi Strategi Pencapaian Target EBT 23% di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Kamis (2/3/2017).
Jonan menyebut ketimpangan ekonomi di Indonesia sebagai tantangan utama dalam pengembangan EBT. Biaya investasi untuk mengembangkan EBT memang relatif mahal dibanding energi fosil. Kalau porsi EBT dalam bauran energi diperbesar, konsekuensinya biaya produksi listrik naik, tarif listrik PLN juga harus naik. Risikonya, akan ada rakyat yang tidak bisa membeli listrik.
"Perbedaan kemampuan daya beli ini jadi 1 tantangan yang besar. GDP kita per kapita US$ 3.800 per tahun, ini kan rata-rata. Yang di bawah itu berapa? Saudara-saudara kita yang spend di bawah US$ 2 per hari ada 100 juta orang. Keterjangkauan jadi 1 pertimbangan yang sangat besar," paparnya.
Kementerian ESDM di bawah pimpinan Jonan memilih untuk mengutamakan listrik murah. Soal sumber energinya, apakah energi fosil atau energi terbarukan tak jadi soal. Pengembangan EBT mau tak mau dikesampingkan dulu demi listrik yang terjangkau rakyat.
"Apakah bauran energi atau affordability yang diutamakan? Ada 2.500 desa yang penting ada lampu dulu, ada 10.000 desa yang listriknya at the very minimal level. Kalau 3-4 tahun lagi kabel listrik lewat depan rumahnya, terus dia enggak mampu beli, saya kira rasa keadilannya bagaimana? Ini jadi persoalan," tukasnya.
Pengembangan EBT bukannya tak penting, tapi keadilan untuk rakyat lebih penting. "Kita coba atur tarif supaya tarif listrik tidak makin lama makin naik, kalau bisa makin lama makin turun. Ini menurut saya penting," tutup Jonan. (mca/ang)











































