ESDM: Proyek PLTU Tetap Menarik Meski Harga Listriknya Dibatasi

ESDM: Proyek PLTU Tetap Menarik Meski Harga Listriknya Dibatasi

Michael Agustinus - detikFinance
Jumat, 03 Mar 2017 19:41 WIB
ESDM: Proyek PLTU Tetap Menarik Meski Harga Listriknya Dibatasi
Foto: Michael Agustinus-detikFinance
Jakarta - Kementerian ESDM menyatakan, investasi di proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) tetap menarik meski ada aturan baru yang membatasi harga listrik dari pembangkit batu bara.

Patokan harga tertinggi untuk listrik dari PLTU ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Batubara untuk Pembangkit Listrik dan Pembelian Kelebihan Tenaga Listrik (Permen ESDM 19/2017).

Permen ESDM 19/2017 mengatur harga pembelian listrik PLTU mulut tambang dan PLTU non mulut tambang. PLTU mulut tambang adalah pembangkit yang berdekatan dengan tambang batu bara, sehingga bahan bakarnya tak perlu ditransportasikan. Sedangkan PLTU non mulut tambang tidak terletak di dekat tambang batu bara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk PLTU mulut tambang, jika BPP Pembangkitan setempat lebih rendah dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada 75% BPP Pembangkitan setempat. BPP nasional saat ini sekitar Rp 1.400/kWh.

Jika BPP Pembangkitan setempat lebih tinggi dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada 75% BPP Pembangkitan nasional. Harga pembelian tenaga listrik ditetapkan dengan asumsi faktor kapasitas pembangkit sebesar 80%.

Sebagai gambaran, misalnya BPP di suatu daerah Rp 1.000/kWh, maka harga listrik PLTU mulut tambang di daerah tersebut tak boleh lebih dari Rp 750/kWh. Sedangkan misalnya BPP di suatu daerah Rp 1.800/kWh, maka yang dipakai sebagai patokan adalah BPP nasional. Jadi harga listrik PLTU mulut tambang di daerah itu tak boleh lebih dari 75% dari Rp 1.400/kWh, yaitu Rp 1.050/kWh.

Lalu untuk PLTU non mulut tambang, harganya dibatasi paling tinggi 100% BPP. Tetapi bila BPP Pembangkitan setempat lebih tinggi dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada 75% BPP Pembangkitan nasional.

Misalnya BPP di suatu daerah Rp 1.000/kWh, maka harga listrik PLTU non mulut tambang di daerah tersebut tak boleh lebih dari Rp 1.000/kWh. Sedangkan misalnya BPP di suatu daerah Rp 1.800/kWh, maka yang dipakai sebagai patokan adalah BPP nasional. Jadi harga listrik PLTU non mulut tambang di daerah itu tak boleh lebih dari Rp 1.400/kWh.

Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman, berpendapat patokan harga tersebut masih ekonomis buat investor. Sudah banyak produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) yang bisa menjual listrik ke PLN dengan harga jauh di bawah BPP.

Contohnya di Jawa Barat yang BPP-nya sudah di bawah BPP nasional, hanya US$ 5,57 sen/kWh atau setara dengan Rp 725/kWh. Ada IPP yang bisa menawarkan listrik dari PLTU non mulut tambang dengan harga US$ 4,2 sen/kWh atau Rp 546/kWh. Artinya, batasan harga sebesar BPP setempat masih masuk akal.

"BPP di Jawa Barat US$ 5,57 sen/kWh. Artinya maksimal harga untuk PLTU non mulut tambang adalah US$ 5,57 sen/kWh. Kemarin PLTU Jawa 7 itu cuma US$ 4,2 sen/kWh. Di Jawa Barat maksimal US$ 5,57 sen/kWh, itu masih menarik bagi IPP," kata Jarman saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (3/3/2017).

Untuk daerah-daerah kaya batu bara yang diwajibkan memakai PLTU mulut tambang juga dinilainya masih menarik. Misalnya di Sumatera Selatan yang BPP regionalnya US$ 6,81/kWh, harga maksimum listrik PLTU mulut tambang masih sebesar US$ 5,17/kWh atau Rp 672/kWh.

Dengan formulasi baru ini, ke depan biaya produksi listrik akan makin menurun. Tarif listrik pun jadi lebih murah.

"Sumatera Selatan kan BPP-nya kira-kira US$ 6,81 sen/kWh, jadi kira-kira US$ 5,17/kWh. Sekarang dengan policy harus pakai PLTU mulut tambang, nanti BPP akan turun. Otomatis BPP turun secara perlahan," tutupnya. (mca/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads