Ketua Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Logam (SPL) FSPMI PT Smelting Indonesia, Zaenal Arifin, mengatakan awalnya pekerja merasa tidak terima adanya diskriminasi perbedaan persentase kenaikan gaji tiap golongan pegawai.
Ia mengungkapkan, karyawan PT Smelting Gresik golongan 1-4 bagian pengamanan hingga staf hanya mendapatkan kenaikan gaji 5%, sementara karyawan golongan 5-6 level managerial mendapat kenaikan 170%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan, kesenjangan kenaikan upah tersebut tidak sesuai dengan Perjanjian Bersama (PB) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) ke-7 antara pihak manajemen dengan pekerja. Menurutnya, pada tahun sebelumnya kenaikan gaji itu berdasarkan inflasi dan kinerja.
Tahun 2015 kenaikan gaji antar golongan 1-6 sesuai dengan inflasi, sedangkan tahun ini ia tidak mengetahui apa alasannya. Para buruh telah mempertanyakan ke manajerial, tetapi tidak mendapatkan respon.
"Sudah ditanya, tetapi dialihkan dan tidak mau menjelaskan. Kenaikan ini tidak sesuai degan kesepakatan yang kami buat yaitu melalui perjanjian kerja bersama antara kami dengan pihak perusahaan sebelumnya," ujarnya.
Sampai dengan berakhirnya perundingan PKB 8 pada tanggal 6 Januari 2017, pihak perusahaan dan serikat pekerja belum mencapai kesepakatan. Akhirnya, anggota serikat pekerja yang diwakili Zaenal, melayangkan surat pemberitahuan hak mogok kerja pada manajemen.
Namun, saat mogok kerja terjadi yang dimulai 19 Januari lalu, para pekerja yang akan melakukan aksi mogok kerja dihalang-halangi manajemen. Para pekerja tidak diperkenankan masuk ke dalam kantor serta sebanyak 700 orang polisi sudah melakukan pengamanan.
Untuk menghindari konflik dengan polisi, serikat buruh melakukan mogok kerja di luar kantor. Selama mogok kerja berlangsung, pihak manajemen kemudian mengeluarkan intimidasi berupa pemberian surat peringatan (SP) hingga akhirnya PHK sepihak.
Sementara itu Wakil Ketua Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Logam (SPL) FSPMI PT Smelting Indonesia, Ibnu Shobir mengatakan para pekerja juga belum mendapatkan gaji ada bulan Februari, serta diblokirnya akses kesehatan pekerja dan keluarganya
"Kami juga belum mendapatkan gaji 1 bulan, Februari ini padahal kan belum ada keputusan dari Disnaker setempat yang menyatakan kami di-PHK, Disnaker memberi waktu pada manajemen dan kami untuk bertemu tapi tidak terlaksana," ujar Ibnu.
Pada awal perusahan ini berdiri tahun 1996 hanya berkapasitas mengolah 90 ton/jam konsentrat tembaga PT Freeport untuk menghasilkan 200.000 ton tembaga/tahun.
Kemudian, pada 2016 berkapasitas 140 ton/jam produksi konsentrat tembaga untuk bisa menghasilkan 300.000 ton tembaga/tahun. Ia menyebut pihak pekerja telah berusaha meningkatkan kapasitas ini dengan jumlah pekerja yang sama, tetapi mendapatkan PHK sepihak.
"Apa yang diusulkan kepada kami merugikan kami, baik sebagai pekerja PT Smelting, karena prestasi bagi kami yang menaikkan kapasitas produksi dari 90 ton per jam menjadi 140 ton per jam dengan jumlah pekerja yang tetap," ujarnya.
Oleh karena itu, dia berharap PT Smelting berkomitmen terhadap perjanjian bersama dan perjanjian kerja bersama terkait gaji karyawan. Serta tidak melakukan diskriminasi terhadap pekerja.
"Kami menuntut agar pengusaha mencabut semua tindakan intimidasi terhadap pekerja dan keluarga yang melakukan mogok kerja," ujarnya. (mca/mca)