Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, menyatakan harga batu bara masih rentan melemah. Faktor-faktor eksternal berpotensi besar menurunkan harga batu bara.
"Harga batu bara masih rentan terhadap faktor eksternal, khususnya kebijakan di Tiongkok," ujar Hendra kepada detikFinance, Jumat (9/3/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sulit untuk memprediksi apakah harga batu bara bisa stabil di level US$ 80 per ton sepanjang tahun ini. Masih ada potensi harga tertekan sampai di bawah US$ 80 per ton. Tapi secara keseluruhan, level harga di 2017 masih lebih baik dibanding 2016," paparnya.
Penyebab utama tren penurunan dalam 3 bulan terakhir ini adalah perubahan kebijakan pemerintah China. Pada akhir tahun lalu, pemerintah China memangkas produksi batu bara di dalam negerinya sebesar 4,2%.
Total produksi batu bara Negeri Tirai Bambu itu mencapai 3,6 miliar ton per tahun. Pengurangan produksi 4,2% membuat pasokan batu bara dunia terpangkas 151 juta ton.
Tapi kini pemerintah China secara bertahap kembali menaikkan produksi batu bara di dalam negerinya hingga ke tingkat normal. Meroketnya harga batu bara membuat biaya produksi listrik di China juga naik, menurunkan daya saing industri mereka. Maka pemangkasan produksi batu bara dihentikan.
"Pemerintah China secara bertahap mengembalikan kebijakan pengurangan jam kerja industri batu bara mereka sehingga berangsur menuju normal," Hendra menerangkan.
Di sisi lain, pemerintah China juga memangkas pertumbuhan ekonomi sehingga mengurangi aktivitas pabrik-pabrik di sana. Akibatnya, konsumsi batu bara mengalami penurunan. Permintaan turun, sementara produksi naik.
Faktor lainnya adalah berakhirnya musim dingin. Permintaan batu bara setiap tahun mencapai puncaknya saat musim dingin. Sekarang sudah mulai memasuki musim semi.
"Periode Februari biasanya penggunaan batu bara secara perlahan mulai kurang lebih rendah dibandingkan awal musim dingin," tutupnya. (mca/mkj)