"Setiap Selasa pokoknya ketemu lah dengan Freeport," kata Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, saat ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (20/3/2017).
Namun, Bambang enggan membeberkan apa saja yang sudah dibahas dan disepakati oleh pihaknya dan Freeport dalam pertemuan tiap Selasa itu. "Lupa saya," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) itu pilihan. Kalau anda ingin ekspor konsentrat harus berubah jadi IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). Kalau mau tetap KK (Kontrak Karya), harus ekspor mineral yang sudah dimurnikan, seperti Vale. Saya enggak yakin di luar negeri ada stability yang khusus untuk perusahaan tertentu. Kalau ada beritahu saya," ucapnya.
Bambang menambahkan, Freeport tak boleh berpikir dengan 'cara lama'. Kondisi Indonesia sekarang sudah sangat jauh berbeda dengan tahun 1967. Perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat (AS) itu diminta tidak memaksa pemerintah memberikan fasilitas-fasilitas seperti dalam KK.
"Kalau Freeport masih berpikir dengan cara lama, enggak akan selesai. Apa yang dikatakan mereka bilang kontribusi ke pemerintah sekian miliar dolar, yang dibawa pulang berapa? Harus adil dong. Mereka mungkin keenakan dengan fasilitas yang mrk nikmati sekarang," paparnya.
Sikap Freeport ini sangat berbeda dengan perusahaan tambang raksasa pemegang KK lainnya, yaitu PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) dan PT Vale Indonesia. Vale sudah menjalankan kewajibannya melakukan divestasi saham dan melakukan pemurnian mineral.
Sedangkan AMNT bersedia mengubah status kontraknya menjadi IUPK dan berencana membangun smelter di Sumbawa. Menurut Bambang, ini bukti aturan pemerintah tak membangkrutkan perusahaan tambang masih menguntungkan.
"Amman itu kehilangan (Wilayah Pertambangan) 41.000 hektar tapi malah menambah investasi US$ 9 miliar, membangun smelter di Sumbawa. Mereka oke-oke saja," tutupnya. (mca/wdl)