Mengurai Sengkarut Aturan Pemerintah dan Kontrak Freeport

Mengurai Sengkarut Aturan Pemerintah dan Kontrak Freeport

Michael Agustinus - detikFinance
Senin, 27 Mar 2017 07:53 WIB
Mengurai Sengkarut Aturan Pemerintah dan Kontrak Freeport
Foto: Istimewa/Puspa Perwitasari
Jakarta - Perundingan antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) sampai hari ini belum mencapai titik temu. PTFI mengancam akan menggugat pemerintah ke Arbitrase Internasional karena merasa hak-haknya dalam Kontrak Karya (KK) dilanggar.

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017) yang dikeluarkan pemerintah pada Januari 2017 lalu, membuat Freeport tak bisa lagi mengekspor konsentrat. Akibatnya kegiatan operasi dan produksi di Tambang Grasberg terganggu.

Freeport harus mengubah KK-nya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) jika ingin mendapat izin ekspor konsentrat. Namun, mereka menolak IUPK yang ditawarkan pemerintah, karena menilai IUPK tak memberikan stabilitas untuk investasi berskala besar dan jangka panjang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perusahaan tambang yang berpusat di Arizona, Amerika Serikat (AS), ini juga keberatan jika harus melepaskan sahamnya hingga 51% ke pihak Indonesia. Mereka ingin tetap memegang kendali atas PT Freeport Indonesia.

Sebenarnya bagaimana KK dan peraturan-peraturan pemerintah mengatur hak dan kewajiban PTFI?

Pemerintah bersikeras, 51% saham PTFI harus didivestasikan kepada pihak Indonesia. Versi pemerintah, ini tidak bertentangan dengan KK.

Pasal 24 KK tahun 1991 menyebutkan, kewajiban divestasi Freeport terdiri dari 2 tahap. Tahap pertama adalah melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36% dalam 10 tahun pertama sejak 1991. Kemudian divestasi tahap kedua mulai 2001. Freeport harus melego sahamnya sebesar 2% per tahun hingga kepemilikan nasional menjadi 51%.

Artinya, 51% saham PT Freeport Indonesia harusnya sudah berada di tangan pemerintah, BUMN, BUMD, atau swasta nasional sejak 2011. Sementara baru 9,36% saham yang sudah didivestasikan ke pemerintah sampai detik ini.

Tetapi PTFI tak merasa berkewajiban melakukan hal itu. Sebab, Pasal 24 d menyatakan bila pemerintah memberlakukan kebijakan lain terkait divestasi yang lebih ringan daripada ketentuan KK, ketentuan yang lebih ringan itu yang berlaku.

Pada 1994, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 (PP 20/1994). PP ini mengizinkan kepemilikan 100% oleh Penanaman Modal Asing (PMA). Dengan adanya PP 20/1994 ini, PTFI merasa tak lagi berkewajiban melepas 51% sahamnya.

Soal kewajiban membangun smelter sebenarnya juga ada dalam KK, yaitu di Pasal 10. Tetapi KK tidak menyebutkan kalau PTFI harus memurnikan semua hasil produksinya. PTFI merasa sudah memenuhi kewajiban ini karena telah membangun smelter di Gresik yang berkapasitas 1 juta ton per tahun, sekitar 30% dari produksi konsentrat PTFi bisa dimurnikan di sana.

Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang muncul 18 tahun sesudah KK juga ditafsirkan berbeda oleh pemerintah dan PTFI. Pemerintah menginginkan KK disesuaikan dengan ketentuan UU Minerba, tidak boleh bertentangan.

Dasarnya adalah Pasal 169 b UU Minerba yang meminta KK disesuaikan dalam waktu 1 tahun sejak Undang-Undang diterbitkan.

Di sisi lain, Pasal 169 a aturan yang sama menyatakan KK yang telah ada sebelum terbitnya UU Minerba dihormati sampai masa berlakunya habis. Pemerintah berpegang pada Pasal 169 b, sedangkan PTFI menggunakan Pasal 169 a untuk mempertahankan isi KK sebagaimana adanya.

Ketika ada perbedaan ketentuan antara Undang Undang dengan KK, yang mana yang harus diikuti?

PTFI berpendapat, KK yang harus diikuti, karena Pasal 32 mengatakan peraturan pemerintah tak boleh bertentangan dengan KK. Sebaliknya, pemerintah menomorsatukan Undang Undang. Dalam KK Pasal 23 dinyatakan, PTFI harus senantiasa mentaati semua Undang-Undang dan peraturan yang dari waktu ke waktu berlaku di Indonesia.

Selain itu, Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur, suatu perjanjian akan terlarang bilang bertentangan dengan hukum. KK sebagai perjanjian menjadi terlarang apabila tak selaras dengan aturan hukum di Indonesia.

Banyaknya peraturan yang multitafsir ini memusingkan kedua belah pihak. Pemerintahan saat ini tersandera oleh berbagai aturan yang dibuat di masa lalu. Kalau didiskusikan semua ini, yang terjadi adalah 'debat kusir' antara pemerintah dan PTFI.

Arbitrase diyakini malah akan menambah runyam masalah. Dalam sejarahnya, sengketa di Arbitrase pasti menciptakan 'kerusakan', baik pihak yang menang maupun yang kalah di Arbitrase sebenarnya sama-sama kalah, menderita kerugian besar.

"Saya tidak berharap arbitrase karena itu lose-lose. Jangan sampai terjadi," SVP Geo Engineering PTFI, Wahyu Sunyoto, beberapa waktu lalu.

Andaikan PTFI menang di Arbitrase, mereka tetap rugi karena hubungannya dengan pemerintah tentu sudah rusak. Bisnis mereka di Indonesia kemungkinan tak bisa lagi berjalan sebaik sebelumnya. Dasar kerja sama pemerintah dengan investor adalah kepercayaan. Ketika kepercayaan itu sudah hilang, kerja sama tak mungkin benar-benar terjalin.

Karena itu, Arbitrase sebagai jalan terakhir penyelesaian konflik yang diatur dalam KK Pasal 21 sebisa mungkin dihindari. (mca/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads