Jokowi meluncurkan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW pada Mei 2015 lalu. Setelah 2 tahun berlalu, dari 35.000 MW itu sebanyak 10.442 MW (29%) sudah masuk tahap konstruksi, lalu 639 MW sudah beroperasi secara komersial (Commercial Operation Date/COD).
Sementara 7.533 MW (21%) sedang dalam tahap perencanaan, 8.217 MW (23%) tahap pengadaan, 8.806 MW (25%) sudah kontrak Power Purchase Agreement (PPA) tapi belum konstruksi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apakah capaian program 35.000 MW ini sudah cukup ideal?
Bila dilihat dari jumlah pembangkit yang sudah konstruksi dan COD , yakni 11.081 MW, tentu sudah pasti target 35.000 MW rampung di 2019 tak akan tercapai. Pemerintah sendiri sudah menyadari hal ini, Menteri ESDM, Ignasius Jonan, dan Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan sudah pernah mengakui bahwa hanya sekitar 20.000 MW saja yang bisa selesai pada 2019.
Tetapi untuk mencapai 20.000 MW pun tampaknya sulit. Sebagian besar dari 10.442 MW yang sudah mulai dibangun itu adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang rata-rata butuh waktu 4 tahun untuk dirampungkan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, memprediksi yang bakal COD pada 2019 nanti kurang dari 20.000 MW, mungkin paling banyak sekitar 19.000 MW.
"Hitung-hitungan saya (yang selesai 2019) di bawah 20.000 MW di 2019. Enggak semua yang sudah konstruksi sekarang itu masuk (COD) 2019," kata Fabby saat dihubungi detikFinance, Jumat (31/3/2017).
Ia menjelaskan, banyak proyek-proyek besar seperti PLTU Jawa 5 berkapasitas 2.000 MW, PLTGU Jawa 1 yang kapasitasnya 1.600 MW, PLTU Sumsel 8 2x620 MW yang belum konstruksi. Ini membuat target yang sudah diturunkan hingga 20.000 MW pun susah dikejar.
Untuk mendapatkan tambahan pasokan listrik 20.000 MW di 2019, menurut Fabby, harusnya pembangkit yang sudah konstruksi dan COD sekarang setidaknya 15.000 MW.
"Target di RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) PLN yang baru ada tambahan 21.000 MW di 2019. Kalau mau target segitu harusnya yang sudah konstruksi sekarang di atas 15.000 MW," paparnya.
Tapi tidak tertutup kemungkinan target di RUPTL sebesar 21.000 MW tercapai atau bahkan terlampaui. Pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dan pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) hanya butuh waktu 2 tahun saja. Jika digenjot sekarang, lalu proyek-proyek PLTU juga dikebut, 20.000 MW bisa terlewati.
"Bisa saja lebih kalau ada yang diakselerasi. PLTG dan PLTGU hanya butuh waktu sekitar 2 tahun," katanya.
Meski program 35.000 MW meleset dari target 2019, kalau 20.000 MW saja bisa dikejar, Indonesia tak akan mengalami krisis listrik. Sebab, proyek 35.000 MW dibuat dengan perhitungan pertumbuhan ekonomi mencapai 7% per tahun, sementara sekarang ekonomi hanya tumbuh 5% per tahun. Peningkatan kebutuhan listrik pun tak setinggi perhitungan awal.
"Sekarang pertumbuhan kita hanya 5%, pertumbuhan konsumsi listrik kira-kira 7-8% per tahun. Berarti butuh tambahan listrik kurang lebih 5.000-6.000 MW per tahun. Saya asumsikan 21.000 MW cukup," Fabby menerangkan.
Yang harus diperhatikan pemerintah, sekarang banyak kawasan industri baru di luar Jawa. Banyak juga pembangunan smelter di daerah-daerah tambang. Jangan sampai molornya pembangunan pembangkit membuat cluster-cluster industri ini kekurangan listrik.
Selain itu, harus diwaspadai juga adanya lonjakan konsumsi listrik pada 2017-2018 karena banyaknya investasi baru. Sebagian besar pembangkit listrik di program 35.000 MW baru selesai tahun 2019-2020. Maka ada potensi defisit listrik di 2017-2018 ketika pembangkit belum siap.
"Ada kawasan-kawasan industri di Sumatera, Sulawesi, banyak juga yang lagi bangun smelter. Semoga saja tidak ada lonjakan permintaan pada 2017-2018. Semoga cukup," tutupnya. (mca/hns)