Pertamina Nombok Rp 5 T untuk Program BBM Satu Harga

Pertamina Nombok Rp 5 T untuk Program BBM Satu Harga

Michael Agustinus - detikFinance
Selasa, 04 Apr 2017 18:28 WIB
Pertamina Nombok Rp 5 T untuk Program BBM Satu Harga
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta - Pemerintah menugaskan PT Pertamina (Persero) untuk menjalankan Program BBM Satu Harga di 158 kabupaten/kota seluruh Indonesia, hingga 2019. Sampai saat ini, program sudah dijalankan di 10 kabupaten/kota, yaitu 8 di antaranya di Papua ditambah Krayan dan Morotai.

Harga BBM di daerah terpencil seperti pedalaman Papua, Krayan yang berbatasan dengan Malaysia, yang sebelumnya bisa mencapai Rp 60.000/liter kini bisa menjadi Rp 6.450/liter untuk Premium dan Solar Rp 5.150/liter.

Diharapkan dengan program ini, harga BBM di seluruh Indonesia jadi berkeadilan, semua penduduk Indonesia di mana pun berada bisa menikmati harga BBM yang sama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tantangan utama dalam menjalankan Program BBM Satu Harga adalah minimnya infrastruktur menuju daerah sasaran. Berbagai moda transportasi harus digunakan Pertamina untuk menjangkau daerah-daerah terpencil, mulai dari truk tangki, kapal tanker, kapal kecil, hingga pesawat.

Keterbatasan infrastruktur itu membuat biaya distribusi BBM yang ditanggung Pertamina jadi mahal sekali. Untuk mengirim BBM ke 10 kabupaten/kota dengan volume masing-masing 30 Kiloliter (KL) sekarang saja Pertamina sudah nombok Rp 800 miliar per tahun. Tahun ini, Pertamina ditugaskan masuk lagi ke 54 kabupaten/kota.

Pertamina menyiapkan dana sebesar Rp 5 triliun untuk 'subsidi' Program BBM Satu Harga. Ini dana dari kas Pertamina sendiri, bukan dari APBN.

"Kalau perhitungan kasar, kita butuh sekitar Rp 5 triliun tahun ini (untuk Program BBM Satu Harga)," kata SVP Fuel Marketing Distribution, Gigih Wahyu Hari Irianto, dalam diskusi di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Selasa (4/4/2017).

Dari Rp 5 triliun itu, untuk 10 kabupaten/kota yang sudah menikmati BBM Satu Harga saja sudah habis lebih dari Rp 1 triliun. Sebab, konsumsi BBM di daerah-daerah terpencil itu meningkat hampir 2 kali lipat, Pertamina jadi harus lebih sering mengirim BBM. "Ini kenyataan," tegasnya.

Untungnya, pengiriman ke daerah-daerah di luar Papua dan Kalimantan Utara relatif lebih mudah, tak perlu pakai pesawat, masih bisa dijangkau lewat darat atau laut. "Kalau di Krayan sama Papua habis Rp 800 miliar karena pakai pesawat. Tapi kan enggak semua seekstrem itu," papar Gigih.

Kecepatan realisasi Program BBM Satu Harga sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur yang dibangun pemerintah. Jika infrastruktur sudah bagus, Pertamina bisa mengirim BBM dengan cara lebih mudah dan biaya lebih murah. Pihaknya meminta pemerintah pusat dan daerah membantu mempercepat BBM Satu Harga lewat pembangunan infrastruktur.

"Daerah yang lain-lain saya kira tidak seekstrem di Papua. Mungkin menyeberang sungai atau laut saja. Masalahnya ada daerah yang enggak punya dermaga atau landasan untuk pesawat. Kita akan lakukan yang terbaik, tapi infrastruktur tolong didukung pemerintah," ucapnya.

Meski menggerogoti laba Pertamina, Program BBM Satu Harga akan tetap diteruskan karena dampaknya sangat positif bagi perekonomian masyarakat di daerah terpencil.

"Omzetnya (BBM Satu Harga) menjadi trigger untuk pertumbuhan ekonomi. Di pedalaman Papua dulu konsumsi BBM kecil, sekarang ekonomi di sana bergerak. Dibanding sebelumnya, omzet sudah naik 2 kali lipat. Ini jawaban mengapa pertumbuhan ekonomi di sana sebelumnya rendah, karena pasokan energi belum optimal diterima," tutupnya. (mca/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads