Sebagai gambaran, Freeport butuh waktu 6 tahun, sejak 2004 sampai 2010 untuk membangun terowongan sampai ke badan bijih. Lalu dibangun juga ventilasi dan infrastruktur lainnya.
"Tergantung letak badan bijihnya. Untuk kasus Freeport, kita menambah di sekitar 1,6 km di bawah tanah. Untuk mencapai badan bijih kita butuh membangun akses terowongan dari 2004, kita bikin dulu akses utama, jalan masuk, dan juga ventilasi. Baru 2010 kita mencapai badan bijih," kata VP Underground Mine Operations Freeport Indonesia, Hengky Rumbino, kepada detikFinance di Jakarta, Rabu (12/4/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita lakukan pengembangan di 2010 sampai 2015. 2015 sebenarnya kita sudah siap produksi, tapi kita masih menunggu izin dari pemerintah. Kalau diasumsikan tidak ada masalah perizinan, dari produksi pertama tahun 2015, butuh waktu 5 tahun untuk mencapai peak produksi. Kapasitas produksi puncak tercapai di 2021," ungkap Hengky.
Itulah sebabnya, Freeport sangat menginginkan kepastian perpanjangan kontrak dan stabilitas investasi untuk jangka panjang.
"Jadi bayangkan, untuk bisa mencapai produksi puncak butuh waktu dari 2004 sampai 2021. Di produksi puncak kita berharap bisa bertahan sekitar 5 tahun. Investasi block caving butuh waktu 10-12 tahun untuk persiapan saja," tutupnya.
Sampai saat ini, Freeport telah mengeluarkan uang sebesar US$ 6,2 miliar atau setara dengan Rp 82,4 triliun untuk pengembangan tambang bawah tanah Grasberg di Papua sejak 2004.
Jika mendapat kepastian perpanjangan hingga 2041, Freeport berencana menginvestasikan lagi dana US$ 13,6 miliar atau Rp 180,8 triliun. Sebagian besar akan digunakan untuk pengembangan tambang bawah tanah. (mca/wdl)