Melalui Permen ESDM 25/2017 ini, Jonan mewajibkan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) menjual BBG, harus ada dispenser BBG, tak hanya jualan BBM. Tapi tak semua SPBU, hanya SPBU di daerah-daerah yang sudah punya infrastruktur gas dan ada sumber pasokan gasnya saja.
Namun aturan baru Jonan ini tidak mengubah harga BBG yang saat ini Rp 3.100/liter setara premium (lsp). Padahal, harga BBG ini dikeluhkan oleh para pengusaha SPBU karena tidak ekonomis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, menjelaskan pihaknya memutuskan tidak menaikkan harga BBG dengan tujuan membuat masyarakat tertarik dulu. Boleh dibilang sekarang ini masih masa diskon, promosi dulu.
Harga BBG yang murah, kurang dari setengah harga BBM jenis premium yang Rp 6.450/liter, diyakini akan menarik banyak masyarakat beralih ke BBG.
"Soal harga, ada masa diskon. Enggak mungkin begitu buka langsung profit. Namanya bisnis bertahap. Makanya pemerintah harus mendorong supaya ini bergerak," kata Wirat dalam diskusi di Gedung Migas, Jakarta, Selasa (25/4/2017).
Selain pengusaha SPBU, pelaku usaha di bisnis distribusi gas juga diminta berkorban, menanggung rugi demi percepatan konversi BBM ke BBG. Sebab, Pasal 14 Permen ESDM 25/2017 melarang pengenaan biaya pengangkutan gas bumi melalui pipa (tol fee) untuk keperluan penyediaan BBG.
Artinya, badan usaha pemilik pipa gas dilarang memungut tol fee meski pipanya dipakai untuk transportasi gas sampai ke SPBU. Menurut Wirat, kerugian yang ditanggung pemilik pipa tak banyak karena volume gas yang lewat kecil, hanya sekitar 0,3 MMSCFD untuk tiap SPBU.
"Tidak ada fee maksudnya kalau gas ini dari hulu melewati pemilik fasilitas pipa, karena masih kecil volumenya dan masa inisiasi, maka dikasih diskon enggak ada tol fee pipa. Biasa lah kayak toko baru, kan ada diskon," ujarnya.
Prioritas utama sekarang adalah konversi BBM ke BBG harus berjalan masif, setelah itu baru harganya ditinjau lagi. "Masa diskon belum untung, rugi sedikit dulu sekarang," tutup Wirat. (mca/hns)