Jonan Blak-blakan Soal Masalah Migas Hingga Listrik

Jonan Blak-blakan Soal Masalah Migas Hingga Listrik

Eduardo Simorangkir - detikFinance
Kamis, 27 Apr 2017 19:05 WIB
Jonan Blak-blakan Soal Masalah Migas Hingga Listrik
Foto: Ardan Adhi Chandra/detikFinance
Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, berbagi cerita mengenai tugasnya sebagai Menteri ESDM sejak ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Oktober 2016 lalu. Jonan blak-blakan soal sederet masalah di sektor energi.

Mulai dari di bidang minyak, gas, listrik hingga energi terbarukan. Misalnya, soal cost recovery atau pengembalian biaya operasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas. Menurutnya, hal ini merupakan contoh ketidakefisienan yang berlangsung sangat lama, karena berapapun biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor dalam eksplorasi, biayanya harus diganti oleh negara.

Kini, kebijakan pun diganti menjadi gross split. Skema ini membuat pemerintah bisa mengurangi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sebab, biaya operasi tak lagi dibebankan ke negara, tapi ke kontraktor migas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal yang sama terjadi pada sektor energi baru terbarukan. Harga listriknya yang relatif mahal membuat sumber pembangkit alternatif ini tak cukup membantu kondisi kelistrikan di Indonesia.

"Harga energi terbarukan itu harus bisa berkompetisi dengan harga energi dasar yang lain," katanya dalam paparan pada acara pada acara OJK Performance Festival di Gedung OJK, Jakarta, Kamis (27/4/2017).

Begitu pula di sektor kelistrikan. Sampai saat ini masih ada sekitar 2.500 desa dengan jumlah 293 ribu Rumah Tangga yang belum merasakan listrik sejak Indonesia merdeka. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat harga tarif listrik yang terus naik, namun ternyata masih ada daerah yang belum sama sekali melihat cahaya lampu. Hal ini pun mendapat perhatian serius oleh pemerintah dan akan mengatasi persoalan ini lewat Instruksi Presiden sehingga secara bertahap, hingga tahun 2019 nanti, tak lagi ada desa yang belum terlistriki.

Selain itu, pemerintah juga kini mengeluarkan kebijakan baru dengan mengatur Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) alias Power Purchase Agreement (PPA) antara PT PLN (Persero) dengan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) agar lebih adil. Tanggungan risiko yang lebih besar kepada PLN dalam kontrak jual beli listrik lama membuat tarif listrik sulit ditekan bahkan semakin naik.

"Sekarang saya ubah, jadi delivery or pay. Karena kalau kita lihat, banyak pembangkit listrik itu yang kadang-kadang kapasitasnya yang jalan hanya 60%. Kalau swasta punya, listriknya ada dia jual, harus terima PLN. Sekarang saya bikin delivery or pay. Kalau pembangkit listrik enggak bisa menyalurkan, karena rusak dan sebagainya, dia harus kena denda," ucap dia.

"Jadi lebih fair. Kebijakan ini paling tidak akan mengurangi 5-15% biaya pokok pembangkitnya PLN. Dan itu targetnya adalah menurunkan tarif listrik. Kalau tiap tiga bulan, tarif listrik naik, ya enggak usah ada Menteri ESDM," candanya.

Jonan mengaku hal ini dilakukannya semata-mata demi memberikan keadilan kepada masyarakat sebagai konsumen. Sederhana saja, bekerja menurutnya harus pakai akal sehat, sehingga segala sesuatu bisa dikerjakan dengan sebagaimana mestinya dan memberikan keadilan.

"Kalau saya, mestinya orang bekerja itu menggunakan akal sehat. Kita dalam kepemimpinan itu yang paling penting adalah akal sehat. Kalau bisa bikin barang bagus tapi mahal, itu namanya prakarya. Harus bagus, tapi harganya kompetitif," pungkasnya. (hns/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads