Debat Seru Arcandra dengan Pengusaha Energi Terbarukan

Debat Seru Arcandra dengan Pengusaha Energi Terbarukan

Michael Agustinus - detikFinance
Selasa, 09 Mei 2017 17:17 WIB
Debat Seru Arcandra dengan Pengusaha Energi Terbarukan
Foto: Michael Agustinus
Jakarta - Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, siang ini mengumpulkan para pengembang energi terbarukan di Ruang Sarulla, Kantor Kementerian ESDM, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta.

Pertemuan ini dihadiri perwakilan dari sejumlah perusahaan seperti Pertamina Geothermal Energy (PGE), Chevron Geothermal, Supreme Energy, dan sebagainya. Hadir juga asosiasi-asosiasi seperti Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Asosiasi Pengembang PLTA.

Arcandra mengajak produsen-produsen listrik dari energi terbarukan untuk berdiskusi soal Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 12 Tahun 2017, yang menetapkan batas atas untuk harga jual listrik energi terbarukan dari pengembang ke PLN.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diskusi yang berlangsung sejak pukul 14.00 WIB ini diwarnai perdebatan seru antara Arcandra dengan para pengembang energi terbarukan. Yang diperdebatkan berkisar soal tingkat keekonomian tarif yang ditetapkan pemerintah. Banyak pengusaha yang menilai batasan tarif di Permen ESDM 12/2017 terlalu rendah, kurang ekonomis.

Sementara Arcandra berpandangan, tarif harus seefisien mungkin demi masyarakat. Lagipula, katanya, 10 perusahaan pengembang energi terbarukan sudah menyatakan bahwa aturan tersebut masuk akal, masih menguntungkan.

Protes pertama datang dari Ketua Umum Asosiasi Pengembang PLTA, M Riza Husni. Ia mengungkapkan aturan baru pemerintah membuat investasi yang sudah dilakukannya jadi kacau, sulit balik modal.

Husni telah membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berskala kecil kurang dari 10 megawatt (MW) di Sumatera Utara. Menurut Husni, akibat aturan baru, harga listrik dari PLTA yang dibangunnya jadi kurang ekonomis, hanya Rp 935/kWh.

Debat Seru Arcandra dengan Pengusaha Energi TerbarukanFoto: Michael Agustinus


Arcandra pun melakukan tanya jawab interaktif dengan Husni. Berikut petikan debat mereka:

Arcandra: Pembangkit yang Bapak bangun daerah mana?

Husni: Kita di Sumut dapat Rp 935/kWh. Kemudian untuk pembayaran ke bank sekitar 12 tahun. Kalau kita dapat kontrak jual beli listrik 30 tahun, 12 tahun bayar pinjaman ke bank. Dari tahun ke-12 ke-20, angka Rp 935/kWh ini sudah kecil sekali, ini kan tarif fix sampai kontrak berakhir.

Arcandra: Return of Investment anda dengan harga Rp 935/kWh itu berapa?

Husni: ROI 11% per tahun.

Arcandra: Bapak jangan pakai bank lokal yang bunganya 11%. Lender ada yang bilang ke saya bisa kasih 2%, Bapak kejar itu. Kalau itu Bapak dapatkan pinjaman dengan bunga 2-5% oke enggak?

Saya mengerti Bapak butuh interest rate (bunga) di bawah 6%. Bank-bank lokal, SMI (Sarana Multi Infrastruktur), dan lain-lain tidak kompetitif. Saya sarankan cari pinjaman dari luar saja. Saya akan ajak lender meeting sekali lagi. Mereka bilang, sampai sekarang enggak ada yang mengajukan ke mereka. Saya akan berusaha mencarikan dana murah buat Bapak, jadi yang Rp 935/kWh itu workable.

Husni: Sangat oke Pak. Tapi kita sudah coba cari pinjaman ke beberapa lembaga keuangan internasional. Pertanyaan mereka, kita dibayar pakai rupiah atau dolar. Kalau rupiah sulit.

Arcandra: Bapak investasi sebagian besar pakai rupiah atau dolar? Rupiah kan? Anda investasi pakai rupiah, dibayar pakai rupiah. Ya sudah.

Oil and gas itu proyek-proyeknya besar, lebih besar dari PLTA, ROI 12-13%. Risikonya lebih besar mana sama Bapak? 11% untuk PLTA yang Bapak punya, saya kira workable.

Setelah itu, Arcandra didebat oleh salah seorang pengurus METI, yaitu Paul Butarbutar. Chairman of Legal, Policy Advocacy and Regulation METI ini menantang Arcandra untuk membuktikan bahwa tarif di Permen ESDM 12/2017 memang ekonomis. Berikut petikan debatnya?

Paul Butar Butar: Saya tantang, bisa enggak Bapak membuktikan bahwa itu harga yang ekonomis?

Arcandra: Kalau METI menyatakan tidak mampu, kita lihat apakah yang di luar METI mampu. Ada enggak pengembang-pengembang yang mampu menjual sesuai Permen ESDM 12/2017? Minggu lalu kalau enggak salah ada 10-12 pengembang yang menyatakan siap. Saya heran kalau ada yang bilang workable, tapi ada yang menyatakan tidak workable lalu mengirim surat ke Presiden. Saya punya daftar siapa saja yang menyatakan mampu dan di daerah mana.

Masyarakat peduli enggak ini listrik dari matahari, air, atau fossil fuel? Enggak. Tapi peduli enggak kalau kita naikkan Rp 100/kWh? Peduli.

Masih ada 2.500 desa yang tak berlistrik. Saya harap semua yang di sini mempunyai visi sama untuk membuat listrik berkeadilan.

Meski berdebat keras, Arcandra berjanji akan menampung masukan-masukan yang baik dari para pengembang energi terbarukan. Tidak tertutup kemungkinan Permen ESDM 12/2017 akan direvisi.

"Permen ini man made product. Apakah mungkin Permen ini diubah? Mungkin saja. Tapi saya mau lihat dulu masalahnya di mana. Kalau masalahnya pendanaan, saya cari lender-nya. Kalau masalahnya mau ROI yang lebih tinggi, saya enggak bisa bantu," tutupnya.

Seperti diketahui, pada Februari 2017 lalu Jonan menandatangani Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Regulasi ini menetapkan patokan harga maksimum untuk listrik dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi.

Patokan tarif energi batu terbarukan (EBT) bertujuan untuk menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sekaligus memenuhi kebutuhan tenaga listrik di lokasi yang tidak ada sumber energi primer lain.

Secara ringkas, berikut daftar harga maksimal untuk listrik dari pembangkit EBT:
  • PLTS : 85% BPP setempat
  • PLTB : 85% BPP setempat
  • PLTA di bawah 10 MW : 85% BPP setempat
  • PLTBm : 85% BPP setempat
  • PLTBg : 85% BPP setempat
  • PLTSa : 100% BPP setempat
  • PLTP : 100% BPP setempat
(mca/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads