Misalnya Sukandar, sebelumnya Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk, diangkat menjadi Wakil Kepala SKK Migas mengantikan MI Zikrullah. Lalu, Arief Setiawan Handoko yang sebelumnya VP di ConocoPhilips menjadi Sekretaris SKK Migas menggantikan Budi Agustyono.
Kemudian Fatar Yani Abdurrahman, Jafee Arizon Suardin, dan M Atok Abdurrahman menjadi Deputi SKK Migas menggeser Muliawan, Gunawan Sutadiwiria, dan Rudianto Rimbono.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Biasanya, yang namanya pergantian pimpinan apa yang kita harapkan? Yang kita harapkan adalah kinerja yang lebih baik. Targetnya bagaimana cost recovery bisa berkurang. Kemudian bagaimana caranya produksi at least sama dari tahun ke tahun, kalau tidak meningkat, bagaimana supaya tidak turun," kata Arcandra saat ditemui di Kemenko Kemaritiman, Jakarta, Senin (29/5/2017).
Cost Recovery
Persoalan cost recovery memang sangat disoroti oleh duet Jonan-Arcandra. Cost recovery adalah biaya operasi yang dikeluarkan kontraktor Kontarak Kerja Sama (KKKS) untuk memproduksi migas. Biaya ini akan diklaim kontraktor, dan wajib diganti negara.
SKK Migas dianggap tidak berhasil mengefisienkan cost recovery. Buktinya, penerimaan negara dari migas menurun tajam sejak 2014, tapi pengeluaran negara untuk cost recovery cenderung stabil, hanya menurun sedikit saja saat harga minyak terjun bebas.
Pada 2012, total penerimaan negara dari migas masih Rp 301,6 triliun. Tahun 2013 sebesar Rp 305,3 triliun. Lalu pada 2014 mencapai Rp 319,7 triliun. Tapi saat harga minyak anjlok pada 2015, penerimaan negara dari migas tinggal Rp 135,1 triliun. Pada 2016, penerimaan negara dari migas jatuh sangat dalam, tinggal Rp 84,7 triliun alias cuma 26% dari tahun 2014.
Di sisi lain, cost recovery tak turun drastis seperti penerimaan negara. Pada 2012, cost recovery mencapai US$ 15,6 miliar atau Rp 207,4 triliun. Di 2013 sebesar US$ 15,9 miliar atau Rp 211,4 triliun.
Kemudian pada 2014 naik lagi menjadi US$ 16,3 miliar atau setara dengan Rp 216,7 triliun. Pada 2015 hanya turun sedikit menjadi Rp 13,7 miliar atau Rp 182,2 triliun. Tahun 2016 lalu sebesar US$ 11,6 miliar alias Rp 154,2 triliun.
Dari data tersebut, dapat dilihat cost recovery yang dikeluarkan negara melampaui penerimaan migas sejak 2015 lalu.
Di 2015, penerimaan negara Rp 135,1 triliun, sementara cost recovery untuk kontraktor Rp 182,2 triliun. Tahun lalu, pendapatan negara dari migas Rp 84,7 triliun, sedangkan cost recovery Rp 154,2 triliun atau hampir 2 kali lipat penerimaan negara.
Masih menurut data Kemenkeu, cost recovery selalu membengkak setiap tahun, lebih besar dari pagu yang ditetapkan dalam APBN. Misalnya pada 2012, pagu dalam APBN hanya US$ 12,3 miliar, tapi realisasinya mencapai US$ 15,6 miliar.
Terakhir pada 2016, realisasi mencapai US$ 11,6 miliar, padahal hanya dianggarkan US$ 8,9 miliar. Sementara produksi migas hanya segitu-segitu saja, bahkan terus menurun.
Pada 2012, produksi minyak 860.000 barel per hari (bph), di 2013 turun menjadi 826.000 bph, 2014 turun lagi jadi 794.000 bph, 2015 merosot sampai tinggal 777.000 bph, lalu pada 2016 sedikit membaik menjadi 829.000 bph berkat Lapangan Banyu Urip. Jajaran pimpinan baru SKK Migas diharapkan bisa mendapatkan solusi untuk menyelesaikan masalah ini. (mca/hns)











































