3 Ladang Gas 'Raksasa' Terbengkalai, RI Bakal Bergantung Pada Impor

3 Ladang Gas 'Raksasa' Terbengkalai, RI Bakal Bergantung Pada Impor

Michael Agustinus - detikFinance
Jumat, 02 Jun 2017 16:21 WIB
Foto: Pool
Jakarta - Per Desember 2016, pasokan gas bumi nasional tercatat sebesar 6.744 MMSCFD, terdiri dari existing supply sebesar 6.543 MMSCFD dan tambahan dari proyek-proyek baru (project supply) sebesar 201 MMSCFD.

Existing supply terus menurun setiap tahunnya, mulai dari 6.553 MMSCFD pada 2017 hingga tinggal 2.724 MMSCFD pada 2025. Hal ini disebabkan kemampuan produksi sumur-sumur gas eksisting terus mengalami penurunan.

Agar tidak terjadi krisis gas, proyek-proyek baru harus dipercepat, digenjot produksinya untuk menutup penurunan dari proyek yang eksisting. Pada tahun ini misalnya, ada tambahan cukup signifikan dari Lapangan Jangkrik sebesar 168 MMSCFD.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sumber-sumber gas utama Indonesia di masa mendatang adalah Blok Masela, Blok East Natuna, dan Indonesia Deepwater Development (IDD). Tiga ladang gas 'raksasa' ini menyimpan sekitar separuh dari cadangan gas yang dimiliki Indonesia. Di Blok East Natuna ada cadangan sampai 49,87 TCF, terbesar dalam sejarah Indonesia.

Lalu di Blok Masela yang berada di Laut Arafuru tersimpan gas bumi sebanyak 16,73 TSCF. Sedangkan di IDD, Selat Makasar, terdapat cadangan gas bumi 2,66 TSCF.

Direncanakan IDD mulai berproduksi pada 2022, total pasokan gas dari proyek ini bakal mencapai 800 MMSCFD. Kemudian Lapangan Abadi di Blok Masela direncanakan mulai memproduksi gas pada 2026. Pasokan dari Masela akan mencapai 1.200 MMSCFD. Adapun Blok East Natuna diharapkan bisa menambah pasokan gas hingga 1.000 MMSCFD mulai 2027.

Namun proyek Masela, East Natuna, dan IDD masih terbengkalai sejak bertahun-tahun lalu. Belum ada aktivitas fisik di Blok East Natuna dan Masela. Sedangkan di IDD, baru 1 lapangan saja yang sudah berproduksi, 2 lapangan lagi belum digarap.

Ketiganya terhambat oleh masalah yang belum dapat dipecahkan oleh pemerintah sejak bertahun-tahun lalu. Pemerintahan silih berganti, tapi proyek-proyek gas itu jalan di tempat, termasuk di era pemerintahan Jokowi-JK.

Kalau pemerintah tak membuat terobosan untuk memecah kebuntuan, Indonesia akan sangat bergantung pada impor gas di masa mendatang. Kebutuhan gas bumi di dalam negeri terus meningkat dengan adanya Program 35.000 MW dan pertumbuhan industri. Sementara produksi gas nasional makin menurun.

Dengan asumsi bahwa IDD, Masela, dan East Natuna mulai mengalirkan gas sesuai jadwal saja, Indonesia sudah harus impor gas sekitar tahun 2019. Kalau ketiga proyek gas itu molor atau bahkan mangkrak, tentu butuh impor lebih banyak lagi.

"Kita kemungkinan sudah impor gas sekitar 2020. Kalau ketiga proyek molor, berarti impor gasnya nanti lebih besar lagi dari yang diperkirakan. Kalau project supply meleset, harus dipenuhi dari impor," kata Pendiri Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, kepada detikFinance, Jumat (2/6/2017).

Menurut Neraca Gas Bumi Nasional yang disusun Kementerian ESDM, pada 2019 Indonesia sudah butuh impor gas 1.672 MMSCFD. Impor terus naik hingga 3.722 MMSCFD di 2030.

Kalau tak ada pasokan gas dari East Natuna, Masela, dan IDD maka impor gas akan bertambah 3.000 MMSCFD lagi, alias bengkak 80%. Maka semua proyek ini wajib dikebut pemerintah untuk menghindari ketergantungan yang terlalu besar pada impor.

Di samping itu, investasi bernilai ribuan triliun rupiah melayang begitu saja kalau ketiga proyek tersebut sampai mandek, negara kehilangan pendapatan. Proyek Masela saja sudah bernilai US$ 30 miliar alias Rp 390 triliun.

Proyek IDD nilainya US$ 12 miliar atau setara dengan Rp 156 triliun. Belum lagi East Natuna yang hingga awal produksi saja nilai investasinya sudah bisa mencapai US$ 40 miliar atau Rp 520 triliun.


(mca/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads