Kesulitan dalam pengembangan Blok East Natuna adalah kandungan CO2 yang mencapai 72% sehingga diperlukan teknologi khusus untuk memproduksi gasnya, biayanya pun pasti mahal.
Lalu Blok Masela, sejak Production Sharing Contract (PSC) ditandatangani Inpex Corporation pada 1998 sampai sekarang belum ada aktivitas fisik di Masela. Malahan harus mundur lagi karena revisi Plan of Development (PoD).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyebabnya ialah pembengkakan biaya investasi. Pada 2012 lalu, Chevron Indonesia Company meminta PoD direvisi. Namun revisi PoD tersebut sampai sekarang belum diajukan ke pemerintah. Dengan jatuhnya harga minyak, bagi Chevron proyek IDD ini kalah dengan portofolio proyek di tempat lain. Belum jelas kelanjutan proyeknya.
Tiga ladang gas ini menyimpan sekitar separuh dari cadangan gas yang dimiliki Indonesia. Di Blok East Natuna ada cadangan sampai 49,87 TCF. Lalu di Blok Masela yang berada di Laut Arafuru tersimpan gas bumi sebanyak 16,73 TSCF. Sedangkan di IDD terdapat cadangan gas bumi 2,66 TSCF.
Meski masalah yang menghambat pengembangan ketiga ladang gas itu berbeda-beda, tapi semua proyek itu jadi tak jalan-jalan karena sikap pemerintah yang terlalu kaku dan birokratis. Pemerintah harus bisa lebih fleksibel dalam membuat kebijakan agar ada terobosan yang memecah kebuntuan.
Dalam kasus East Natuna misalnya, sebenarnya pada 2013 konsorsium yang terdiri dari Pertamina, ExxonMobil, dan PTT sudah pernah mengajukan skenario pengembangan, meminta berbagai insentif agar blok tersebut ekonomis untuk digarap. Tapi tidak mendapat persetujuan dari pemerintah.
"Pemerintah kan ingin ini di-develop, sementara secara teknologi tidak mudah , harus win-win dengan investor," kata Pendiri Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, kepada detikFinance, Jumat (2/6/2017).
Lalu di Blok Masela, pemerintah masuk jauh sampai ke hal-hal teknis. Misalnya baru-baru ini, Pre Front End Engineering Design (Pre-FEED) sempat terhambat karena pemerintah berdebat dengan Inpex soal kapasitas dan lokasi kilang.
Menurut Pri Agung, harusnya pemerintah tak perlu masuk terlalu jauh sampai ke hal-hal teknis seperti itu. Pemerintah cukup menetapkan indikator makro, contohnya manfaat untuk negara.
"Saran saya, pemerintah jangan masuk terlalu teknis, pegang indikator makro saja. Jangan terlalu debat ke teknis, jangan terlalu mikro," kata Pri Agung.
Begitu juga dengan proyek IDD, Pri Agung menyarankan agar pemerintah tidak mendebat sampai terlalu teknis. Pemerintah harus bersikap lebih fleksibel, kalau proyek tak bisa jalan nanti ujung-ujungnya rakyat juga yang rugi.
"IDD kan ada penyesuaian cost, pemerintah terlibat makro saja. Kalau sampai hitung-hitungan head to head terlalu jauh, jangan sampai level yang terlalu teknis," ujarnya.
Jika ketiga proyek ini molor atau bahkan mangkrak, investasi ribuan triliun rupiah hilang begitu saja, produksi gas nasional pun bakal anjlok sehingga ke depan Indonesia harus banyak mengimpor gas. (mca/hns)











































